Aku baru saja pulang dari kampus. Menjalani kewajiban kuliah dan menikmati setiap tugas, ilmu, interaksi, dan beragam hal yang aku dapatkan dengan menjajakan kakiku di kampus ini.
Aku kuliah atas kebaikan negara. Ada sebuah program beasiswa yang aku terima dari DIKNAS yang bekerjasama dengan Sekolah Pascasarjana Sahid Jakarta.
Magister Manajemen Pariwisata yang saat ini aku jalani merupakan sebuah Program Beasiswa Unggulan (PBU). 18 bulan target yang harus dicapai untuk mendapat gelar MM. Tidak sepeserpun biaya yang aku keluarkan selama masa kuliah (kecuali uang pendaftaran dan tes TOEFL di awal saat aku mendaftar ikut program ini).
Semua buku dibagikan gratis. Biaya fotokopi (sampai jumlah tertentu) juga dibebaskan. Kegiatan studi lapangan di luar kota selama beberapa hari pun dibiayai. Beberapa teman bahkan mendapat kesempatan untuk mengambil dual degree MM-MBA di UUM, Malaysia. Sedangkan yang tersisa, dijanjikan mendapatkan uang saku sejak selama 18 bulan perkuliahan (hm, yang di Malaysia juga dapat living cost sih, tapi dalam jumlah yang berbeda).
Menurutku, jumlahnya lumayan. Rp. 1.250.000/bulan.
Terbagi menjadi dua pos; Rp. 1.000.000 untuk uang saku dan Rp. 250.000 untuk uang buku yang dikelola kampus.
Sudah 10 bulan perkuliahan dimulai. Ini adalah semester terakhir bagi kami mengambil mata kuliah. Setelah UTS, Proposal Thesis sudah harus masuk. Seminggu sesudahnya dijanjikan akan mendapatkan pembimbing dan sebelum UAS diharapkan semua mahasiswa sudah kolokium untuk akhirnya nanti dapat melakukan penelitian.
Trus, kenapa aku harus membahas tentang bodoh dan naif?
Terkait dengan beasiswa dan uang saku yang dijanjikan, sampai detik ini, kami semua belum ada yang menerima uang tersebut. Bahkan teman-teman yang berangkat ke Malaysia sama sekali tidak mendapatkan jatah uang selama dua semester pertama mereka di Indonesia. Uang saku mereka hanya dihitung selama di UUM, padahal hak mereka selama dua semester pertama pun seharusnya diberikan.
Alasan dari kampus dan DIKNAS adalah karena anggaran terbatas dan dikurangi, oleh karena itu, uang saku mereka dijadikan sumber tambahan biaya kuliah di Malaysia (hmm, aneh kan? Harusnya anggaran sudah dirancang sejak awal sehingga mampu mencukupi semua kebutuhan baik di Malaysia ataupun di Jakarta, apalagi ini bukan program perdana, kami adalah angkatan ke-4, sudah banyak pelajaran-pelajaran yang bisa diambil, baik oleh pemerintah dan pihak Sahid untuk memperbaiki sistem setelah beberapa kali penyelenggaraan program ini). Entah ini merupakan permainan atau memang begitu adanya.
Selama berbulan-bulan, kami ‘dibungkam’. Diberi berbagai macam alasan. Uang belum keluar dr DIKNAS lah, menunggu kepastian yang berangkat ke Malaysia lah, dan berbagai alasan lainnya.
Berbagai pertemuan diadakan, luapan emosi atas ketidakjelasan atas beasiswa ini pun terjadi. Tidak hanya masalah uang saku, namun mengenai kejelasan sistem beasiswa ini, pembiayaannya, output serta outcome-nya.
Di awal penandatanganan kontrak belajar, kami SEMUA dijanjikan akan berangkat ke Malaysia, bahkan kami ‘dipaksa’ berjanji untuk berangkat dan meninggalkan pekerjaan yang ada di Jakarta demi lancarnya program ini, tidak boleh ada yang tersisa di Jakarta. 15 orang harus berangkat! Setidaknya itulah kontrak yang kami tandatangani.
Beberapa bulan kemudian, muncul pejabat dari DIKNAS, tiba-tiba menyampaikan berita bahwa anggaran dikurangi, PEMILU menghabiskan banyak dana, pemerintah tidak punya uang untuk memberangkatkan semuanya (artinya perjanjian dan kontrak awal gugur dan kami ‘terpaksa’ menandatangani kontrak baru), akan ada seleksi lanjutan untuk dapat berangkat ke Malaysia, akan ada masalah letter of acceptance dari UUM, TOEFL lainnya yang harus diikuti, bla..bla..bla..
Lagi-lagi serba tidak jelas!
Beberapa bulan selanjutnya, muncul lagi pejabat DIKNAS tersebut. Dia mengatakan “…bahkan saya tidak bisa menjanjikan 50 % siswa berangkat ke Malaysia, mungkin hanya 2 atau 3 orang. Namun bisa kita siasati dengan program SWAP….” (swap?apaan tuh? bikin tambah bingung saja!)
“Dengan program SWAP, maka bisa ada tambahan 2 atau 3 orang lagi untuk berangkat ke Malaysia. Dengan program SWAP, pembiayaannya bukan dari anggaran PBU, tapi ini merupakan program lain yang diberikan untuk orang (misalnya: guru, dosen, peneliti, wartawan, dsb.) yang memiliki proposal penelitian yang bagus dan diproyeksikan akan memperkaya hasil-hasil penelitian yang ada di Indonesia…,” lanjutnya. (Oh, jadi sekarang orang DIKNAS bermain kucing-kucingan dengan sistem mereka sendiri. Wong jatah untuk penelitian kok diberikan kepada mahasiswa yang mau mengambil dual degree. Gak tepat sasaran dong programnya?) serta banyak lagi ketidakjelasan yang ada.
Yang aku tahu, DIKNAS seharusnya bertanggungjawab untuk semua kelancaran serta proses beasiswa ini. Namun, kenapa institusi ini terasa tidak ‘berpendidikan’?
Tidak memiliki sistem yang jelas, tidak ada alur yang benar, tidak tahu siapa yang bertanggungjawab, siapa kontak person-nya, ada banyak perubahan-perubahan aturan dalam hitungan bulan bahkan minggu, sehingga setiap pertemuan dengan pihak DIKNAS selalu saja menimbulkan perasaan tidak tenang, resah dan berbagai kebingungan atas ketidakkonsistenan yang terjadi.
Namun, ironisnya, aku selalu percaya apa yang mereka sampaikan. I always take all those things for granted!
Aku seperti memiliki kepercayaan dan tingkat toleransi yang tinggi menghadapi para birokrat ini. Aku merasa bahwa mereka dapat dipercaya. Bahwa alasan-alasan tentang kondisi negarayang sulit bla bla bla itu memang nyata, sehingga kami tidak seharusnya berlebihan menuntut hak kami. Aku percaya dan memegang nilai keyakinan bahwa tiap orang sejatinya baik. Tidak ada yang jahat. Entah aku memang bodoh atau terlalu naif mengakui ‘there’s something wrong in here’?
Walau demikian, ada sebuah kesadaran diri yang muncul melihat kejadian yang ada serta pasifnya reaksiku ini. Aku merasa menjadi orang bodoh dan mau dibodohi (sehingga percaya apapun yang dikatakan!) atau sebenarnya memang aku terlalu naif sehingga menganggap bahwa yang terjadi saat ini merupakan hal yang wajar dan apa adanya?
Menghadapi masalah ini, beberapa teman ada yang menjadi sangat emosional. Yang berprofesi sebagai wartawan bidang pendidikan di salah satu surat kabar nasional pun tidak kalah gerang dan mengancam akan membuat tulisan serta membuat opini publik mengenai hal ini. Menurut investigasinya, anggaran sudah turun dan seharusnya sudah sampai ke tangan mahasiswa.
Pada kenyataannya, kami hanya dibuat bingung dengan ketidakjelasan yang ada. Beberapa yang lain marah, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Ada pula yang kritis terhadap kebijakan ini dan terus mencecar DIKNAS serta kampus dengan berbagai pertanyaan yang memojokkan. Ada pula yang diam.
Aku termasuk yang diam, mungkin karena aku sudah ‘pengalaman’ dengan program beasiswa yang sama (Beasiswa Unggulan!) saat aku kuliah di Unsoed dulu. Sama-sama tidak jelas! Sudah lama kekesalan serta kekecewaanku habis akan tingkah polah birokrat ini.
Sebaiknya pemerintah tidak perlu menjanjikan apapun terhadap masyarakat. Pada kenyataannya, janji-janji tersebut hanya sekedar omong kosong belaka. Berbagai kata dipelintir menjadi hal yang lain yang ternyata berbeda dengan apa yang sudah dijanjikan di awal.
Menurutku, ini merupakan masalah krusial!
Untuk kasus PBU Aktifis di Unsoed (waktu itu dijanjikan bahwa 20 orang mahasiswa akan berangkat dan terbagi ke beberapa negara di ASEAN untuk studi banding serta belajar selama 6 bulan. Ada pertukaran informasi, budaya, serta bertukar pemahaman demi mempererat hubungan antara negara-negara tersebut). Tiba-tiba muncul ketidakjelasan. Para penerima beasiswa dibuat bingung, di’gantung’kan dengan kondisi yang ada.
Bahkan saya merasakan kerugian imaterial dari kondisi tidak jelas ini -menunda kelulusan, terhambat mendapat kerja (Sebulan setelah lulus, saya dipanggil wawancara akhir di sebuah perusahaan. Pertimbangan saya waktu itu, kalau TIBA-TIBA dipanggil DIKNAS untuk berangkat, bagaimana mungkin meninggalkan pekerjaan secara tiba-tiba).
Hasilnya, saya gugur masuk ke perusahaan tersebut setelah saya menyampaikan kondisi riil saya. Dengan jujur, saya sampaikan ke perusahaan bahwa saya ada kemungkinan berangkat ke luar negeri atas bantuan beasiswa yang saya terima. Ternyata, sampai setahun setelah kelulusan saya pun,kepastian yang saya tunggu itu tetap NIHIL.
Sampai akhirnya saya menjadi TIDAK PEDULI dengan program beasiswa untuk Unsoed itu dan memutuskan untuk tidak lagi melewatkan berbagai kesempatan yang ada di depan mata hanya karena Program Pemerintah yang TIDAK JELAS yang namanya Beasiswa Unggulan Aktifis.
Baru setelah saya mendapatkan beasiswa lain (yang namanya juga Beasiswa Unggulan!) dan dapat kuliah gratis dual degree Sahid – UUM, saya dapat informasi kepastian keberangkatan atas Beasiswa Unggulan Aktifis.
Pada kenyataannya, perjalanan yang dijanjikan selama 6 bulan, dipotong dengan sadis oleh DIKNAS hanya tersisa SATU MINGGU!!
Beberapa teman di Unsoed berangkat ke Malaysia selama seminggu, sedangkan saya dan beberapa teman lain yang sudah bekerja serta kuliah tidak bisa meninggalkan kewajiban kami, akhirnya dapat kompensasi seadanya.
Memang DIKNAS akhirnya merealisasikan program tersebut (Hm, apakah program enam bulan dipotong menjadi satu minggu dan dilaksanakan setelah lebih dari satu tahun setelah waktu yang dijanjikan dapat dikatakan sebagai sebuah perealisasian program?).
Kenapa saya merasa bahwa yang dilakukan DIKNAS sama sekali tidak mengacuhkan berbagai macam rencana, visi, misi, tujuan, manfaat, output serta outcome yang sudah mereka rancang dalam menyelenggarakan sebuah program. Dan menurut saya bodoh, jika kita merasa dan berkata “Yang penting saya bisa berangkat ke Malaysia, walau cuma seminggu…” atau berkata “..syukur-syukur masih bisa diberangkatkan ya…”
Ibaratnya, kita dapat warisan 100 juta, tapi ternyata hanya dikasih 5 juta saja. Terus kemana sisa uang 95 juta rupiah yang merupakan hak kita? Tapi kita menjadi diam karena setidaknya uang 5 juta sudah di tangan, coba memasrahkan sias uang 95 juta tersebut.
Esensinya bukan seperti itu, kita seharusnya bukan berfikir ‘yang penting berangkat’, tanpa mempertimbangkan bahwa kita seharusnya mendapatkan kemanfaatan LEBIH atas program ini -untuk pada akhirnya bisa berkontribusi LEBIH untuk negara yang sudah membiayai kita.
Tapi kami dipaksa berfikir seperti itu, kami dipaksa berfikir bahwa hak kami sudah hilang atas alasan berbagai masalah yang melanda negeri, kami dibungkam untuk menuntut apa yang sudah dijanjikan kepada kami. Ini merupakan ketidakadilan dan kami merupakan minoritas dibandingkan dengan para birokrat pemilik kekuasaan tersebut. Seenaknya saja mereka melakukan ‘power abuse’ terhadap hak kami.
Bila demikian adanya, JANGAN JANJIKAN KAMI APAPUN!!
Lama sekali saya terdiam dan mencoba mengidentifikasi diri sendiri. Kenapa saya terdiam begitu lama, pasif serta pasrah terhadap kondisi-kondisi tersebut. Saya berfikir, apakah saya memang bodoh -selayaknya orang yang tidak berpendidikan dan tidak sadar bahwa saya dibodohi-, atau memang saya terlalu naif -sadar bahwa saya dibodohi, namun tetap yakin bahwa pada dasarnya orang-orang tersebut tidak bermaksud jahat dan tidak sedikitpun mau mengambil apa yang bukan hak mereka.
Saya selalu yakin bahwa bila memang sesuatu merupakan rezeki dan tuhan berkenan, saya pasti akan mendapatkannya. Namun, saya lupa bahwa berusaha untuk meminta hak, bertanya dengan tegas mengenai ketidakjelasan yang ada, menuntut kredibilitas serta menyuarakan hak saya merupakan bagian dari USAHA untuk mencari ridhoNya selain juga doa-doa yang selalu saya panjatkan agar Tuhan ridho dan memanjangkan tangan saya untuk menerima rezeki tersebut.
*Untuk teman-temanku yang terombang ambing dalam ketidakjelasan program beasiswa DIKNAS ini, semoga Tuhan selalu memberikan kita kesabaran, keyakinan serta kemudahan untuk menuntut apa yang sudah mereka janjikan kepada kita. Semoga kaki kita tidak lelah melangkah lebih jauh, mata kita tidak lelah melihat lebih dalam, tangan kita tidak lelah bertindak lebih banyak dan pikiran kita tidak lelah berfikir lebih keras. Dengan membicarakan dan menuntut ini, bukan berarti kita tidak bersyukur atas apa yang sudah kita terima. Semoga keyakinan bahwa apapun yang terjadi dan kita jalani merupakan jalan terbaik yang diberikan Tuhan kepada kita serta keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja akan menjadikan kita semakin kuat berdiri.