.woman with excuses.


Melanjutkan cerita tentang diriku. Mengungkap sisi manusiawi yang dianggap sebagian orang hilang dari diriku.
Tapi bila menjadi egois dan memiliki keburukan merupakan kualitas yang dimiliki manusia normal, maka aku juga adalah seorang manusia normal…

Dulu -bahkan sampai sekarang, aku selalu saja pintar membuat alasan untuk lari dari ‘tanggung jawabku’.

Saat aku malas datang meeting, aku bilang bahwa aku sakit.

Saat aku tidak mau bertemu dengan teman-teman lamaku, aku bilang aku punya kesibukan lain.

Saat aku tidak menghadiri wisuda temanku, aku bilang aku harus pergi ke suatu tempat.

Saat aku tidak mau mengangkat telepon, aku bilang sedang di tengah perjalanan.

Saat aku datang terlambat, aku bilang bahwa ada pekerjaan lain yang harus aku selesaikan.

Saat aku tidak mengumpulkan tugas, aku bilang aku lupa.

Saat aku malas kumpul dengan teman, aku bilang aku punya acara keluarga.

Banyak lagi alasan-alasan lain yang aku buat untuk menghindari semua itu.

Kalau orang menganggap bahwa berkumpul dan berada di keramaian adalah hal yang menyenangkan, tidak demikian dengan diriku.
Saking terlalu nyaman dengan diri ini dan tidak mau berkompromi dengan orang lain, maka aku hidup dengan alasan-alasan.

Alasan yang kubuat-buat untuk tetap berada di zona amanku.

Kenapa harus selalu membuat alasan?

Aku selalu ingin semua di bawah kendaliku. Aku tidak mau berurusan dengan hal-hal yang tidak bisa kuhadapi.

Aku memulai sesuatu karena aku tahu akan bagaimana jadinya nanti. Atau setidaknya prediksiku tidak terlalu meleset.

Aku tidak suka dengan perubahan yang mendadak karena artinya, berbagai macam yang sudah kurencanakan akan gagal. Kupikir aku akan lebih siap menghadapi hidup bila aku sudah mempertimbangkan rencana A, B, C atau Z dan menaksir segala resiko yang mungkin kuhadapi.

Jadi, saat kupikir sebuah hal tidak cukup ‘aman dan nyaman’, maka aku membuat alasan-alasan.

Perlukah alasan lain mengapa aku membuat alasan-alasan itu?

.teman-temanku itu.


Teman-temanku itu…
Adalah teman-teman yang selama 6 tahun terakhir berada di duniaku yang sepi.
Sepi, karena sedikit sekali orang yang kubiarkan masuk dan menjadi bagian darinya.
Bukan salah orang-orang, tapi memang aku selalu punya masalah dengan hubungan terhadap sesama. Mungkin terlalu nyaman di dunia buatanku sendiri. Terlalu takut berbaur dengan banyak orang di lingkungan -yang kupikir- tidak cukup ‘aman dan nyaman’ bagi keterasingan jiwaku.

Teman-temanku itu…
Yang sempat menjadi partner debatku, pelatih galakku, teman bermainku, seniorku, juniorku, lawan tanding debatku, teman latihanku, PO-ku, SC-ku, teman adu pendapatku, supporter sejatiku, kakakku, adikku dan semua titel yang pernah menempel pada mereka saat duniaku dan dunia mereka dipertemukan dalam naungan UNSOED, SEF, ENGLISH DEBATING SOCIETY, Jurusan KOMUINIKASI, dan beragam hal yang menjadikan kami satu.

Teman-temanku itu…
Yang pernah ‘kubuang’ hanya karena keegoisan, ketidakdewasaan serta kegagalanku membedakan antara apa HARUS dilakukan, disamping melakukan apa yang INGIN aku lakukan.
Yang kuhapus dari daftar pertemanaku karena kemarahan yang salah tempat gara-gara laki-laki bodoh dan pengecut yang takut menghadapi masa depan.

Teman-temanku itu…
Yang selalu memberiku kebebasan, privasi, cara pandang dan banyak ide brilian. Namun tidak pernah ikut campur dan sok tahu tentang jatuh bangunnya diriku. Yang tidak pernah usil dan mengusik duniaku. Yang menghargai diriku apa adanya dan menerima kelebihan serta kekurangan masing-masing.

Teman-temanku itu…
Yang membuatku selalu nyaman, sebodoh apapun aku, sejelek apapun aku, seaneh apapun aku, semiskin apapun aku, serendah diri apapun aku, sampai saat aku berada di kemapanan yang sedang kurintis saat ini. Itu karena masing-masing dari kami ingin hidup dengan diri kami yang apa adanya. Tanpa persaingan untuk menunjukkan siapa yang lebih hebat atau siapa yang lebih sukses.
Karena kami merasa jengah dengan komunitas palsu yang penuh dengan kesombongan serta angkuh diri yang hanya berkomunikasi lewat beragam cerita penuh riya tentang kehebatan pribadi serta hanya mampu menjelekkan orang lain.

Teman-temanku itu…
Yang membuatku tidak perlu menjadi diri orang lain hanya agar dapat diterima dengan baik.

Teman-temanku itu…
Yang mau menerimaku kembali walau aku telah mengecewakan mereka.

Teman-temanku itu…
Tidak datang mengikuti siang dan tidak pergi mengikuti malam.

Teman-temanku itu…
Adalah sahabat yang telah teruji.

Biarlah persahabatan kami abadi. Biarlah keunikan kami menjadi warna. Kami tidak selalu seiya sekata, tapi kami tahu bahwa kami terikat.

Dan berlapis ikatan ini, awalnya hanya dimulai dengan sebuah kata: ‘DEBAT’.

Beruntungnya aku…

.ramadhan tahun lalu denganmu.


Ramadhan tahun lalu, kamu masih ada di sisiku.
Kamu bilang, ‘Bangunkanku saat sahur nanti ya…’

Berjam-jam kita habiskan untuk bercerita lewat telepon. Padahal pukul 12 malam baru saja usai, begitu juga jam kerjamu. Namun menghabiskan waktu bersamamu lewat handphone ini, bahkan sampai Sahur menjelang terasa sangat menyenangkan.

Kamu selalu mendengarkan cerita membosankanku tentang sulitnya mencari kerja, tentang kegagalanku dalam ujian saringan masuk, tentang bosannya menunggu di rumah, tentang kuliah yang mulai menarik perhatianku, begitu juga dengan teman baru di kampus yang punya segudang cerita dan keunikan. Kamu ada di cerita itu. Di malam-malam panjang itu. Hanya sekedar meminjamkan telingamu dan mengatakan betapa menariknya cerita-cerita hidupku dibandingkan dengan 9 jam yang kamu habiskan di belakang meja kantormu menerima semua keluhan pelanggan.
Aku ingin sekali berhenti bercerita, tapi kamu terus meminta cerita lain.

Ya, begitulah malam-malam di bulan Ramadhan tahun lalu berakhir.
Aku punya daya ingat yang sangat buruk, tapi aku ingat bahwa Ramadhan tahun lalu teman baikmu menginap di rumahmu. Mengatakan betapa beruntungnya kamu memiliki aku.

Aku juga ingat saat kamu sengaja menjemputku sepulang kuliah. Kita sama-sama merasa lelah setelah seharian beraktivitas dan berpuasa, namun kaki kita tetap melangkah. Melangkah ke sebuah tempat makan malam yang indah di atas gedung pencakar langit.
Saat itu, aku berharap bahwa moment indah ini akan terus terjadi di antara kita.

Tapi saat ini, aku berharap agar ingatanku menjadi buruk sehingga aku tidak bisa lagi mengenang saat-saat itu.

Ramadhan tahun lalu, aku berdoa pada Tuhan. Agar tetap menjagamu dan mendekatkan ikatan ini bila memang kamu ditakdirkan untukku. Aku juga memohon padaNya, bila memang diriku bukan untukmu, maka jauhkanlah diri ini. Agar tidak sakit bila memang harus berakhir.
Ternyata perih itu masih terasa hingga detik ini.
Ramadhanku tahun lalu hanya sekedar cerita dalam ‘notes’, kisah indah yang menjadi sedih. Tidak seromantis kisah Romeo dan Juliet, Nick dan Norah, Pasangan Juno, atau pasangan lainnya. Karena kamu memang tidak romantis.

Semoga kisah Ramadhanku tahun ini akan membuatku tersenyum setiap saat aku mengingatnya. Walau tidak lagi ada dirimu di dalamnya.

.pengakuannya.


Bersikeras mencari seseorang yang mau menerima dirinya apa adanya, namun ada sebuah kesadaran yang tiba-tiba muncul dan nyata. Bahwa dia bahkan tidak sepenuhnya bisa menerima dirinya apa adanya.

Bersikeras membuat semua orang menyayanginya, namun lagi-lagi tertampar dengan sebuah pengakuan diri bahwa dia tidak sepenuhnya mencintai dirinya sendiri.

Bersikeras untuk membuat semua orang nyaman berada di dekatnya, namun ada sebuah tanya menyeruak, apakah dia nyaman akan kondisinya sendiri.

Bersikeras untuk diselamatkan dari kesendirian dan perasaan tidak diinginkan, namun dia bahkan menganggap dirinya tidak layak didampingi dan diinginkan.

Begitulah pengakuannya…

.it’s just about how well you play your role.


Ada sebuah rasa sedih dan kehilangan yang teramat sangat mengetahui bahwa Pak Sekretaris Bappebti (yang merupakan atasan langsung-ku) harus dipindah menjadi Ses di Ditjen Kerjasama Perdagangan Internasional dan digantikan oleh pejabat Eselon III yang dipromosikan. Tentu aku patut berbangga, perpindahan ke Ditjen KPI merupakan sebuah prestasi, namun di sisi lain, ada rasa mencelos di hati. Kalau tidak dapat kutahan, mau nangis rasanya :'(

Selama 5 bulan bekerja, beliau adalah atasan yang sangat baik dan menjadi panutanku. Aku merasa tidak sulit untuk belajar darinya karena bagiku, beliau adalah contoh yang harus diteladani.

Pergantian pemimpin, berarti merupakan sebuah masa transisi bagiku. Lagi-lagi aku dituntut untuk beradaptasi dengan atasan baru. Sebagai seorang sekretaris, tentu bukan hal yang mudah. Setiap pimpinan punya preferensi yang berbeda dan aku harus lebih cepat tanggap dengan atasan baru.

Lalu aku berfikir bahwa semua ini hanyalah kehidupan yang terus berputar, seberapa baik aku bisa bertahan memainkan ‘peran’ku. Toh hidup hanya tempat kita berperan dan bertindak. Berperan sebagai seorang sekretaris Ses Bappebti; sebagai seorang CPNS di Departemen Perdagangan, sebagai seorang anak, seorang kakak, seorang teman kerja, teman kampus, mahasiswa, atau hanya sebagai seorang hamba di mata-NYA.

Semakin baik aku memainkan peran ini, maka aku akan mampu bertahan. Walau alasan-alasan baru harus aku buat dan simpan di hati agar peran ini dapat kumainkan sepenuh hati dan rasa senang.

Selamat bekerja di tempat baru, Pak Iwan. Semoga tambah sukses dan posisi sekarang dapat menjadi batu loncatan untuk berkarya kembali di Bappebti sebagai orang nomor satu. Amien…

.yes, i’ve been there.


Dengan keterbatasan daya ingatku, aku coba membawa diriku ke masa lalu, mengingat hal-hal yang pernah kujalani di masa itu. Seandainya saja ada ‘video sepanjang hidup’, yang dapat memutar kembali memori di masa lalu untuk membawa tawa, senyum dan juga perasaan yang sama yang dulu pernah dialami. Walaupun aku yakin, ada beberapa momen bodoh yang ingin kuhilangkan dari lembaran hidupku. Berharap aku tidak pernah melakukannya dan terjebak di dalamnya.

Daftarnya tanpa sengaja ditulis secara acak yah.. Tergantung sampai sejauh mana memori ini bisa diajak kompromi:p

1. Aku pernah punya geng saat SD. Dan waktu itu, aku merasa aku inferior dibandingkan teman-temanku. Itu adalah masa di mana aku merasa tidak punya pendapat yang keren, tidak terlalu didengarkan, nurut dan ngikut aja yang diomongin teman-ku, merasa gemuk, jelek, gak gaul, cowok di mata gw tuh sepertinya dekil dan jail banget.. Ah, masa yang tidak terlalu indah rasanya=)hehe..

2. Gw pernah nangis di kelas saat SMP gara-gara gw gak jadi juara pertama di kelas. Padahal total nilai kita sama. Selama SMP itu, gw selalu jadi juara pertama dan waktu ibu guru bertanya kenapa gw nangis, gw bilang klo teman gw yang juara pertama itu curang. Dia sering nyontek saat ulangan dan itu gak adil kenapa tukang nyontek bisa jadi juara kelas. FYI, gw ga pernah nyontek sejak SD sampai SMP, bahkan SMA! Dan gw bangga dengan hal tersebut.

3. Waktu gw SMP, ada seorang cowok gemuk -teman di kelas- yang suka telepon ke rumah. Tp wkt itu gw takut nerima tlpnya. Dia bilang kalau dia suka gw. Dan gw tambah serem dan malah jadi jutek sama tuh orang. Well, you know? That time, I dont think I need a human being called BOY (sekarang malah jadi ‘murahan’ demi punya cowok..wkwkwkwk:p). Namanya Dian, gak lama setelahnya, dia pindah ke Aceh, entah bgmn nasibnya. Gw ga pernah dengar lagi. If I had a chance to meet him, I’ll say sorry.. Meminta maaf bila saat itu, gw pernah kasar.. Somehow I think he put his spell on me and do hocus pocus things to curse me..wkwkwk..

4. Aku suka menjadi ojek buat teman-temanku. Rasanya sudah banyak yang pernah nebeng My Baby Motor; Maya ‘darla’, Niadjilbab, Fitri little, mba ai, njie, wina, anggiekuwh, tamita, etc.. Ayo ngaku siapa yang suka nebeng?? Hahaha… Gw senang jadi tukang ojek, bahkan sempat berfikir untuk jadi tukang ojek demi dapat uang:p

*to be continued

.bodoh vs naif.


Aku baru saja pulang dari kampus. Menjalani kewajiban kuliah dan menikmati setiap tugas, ilmu, interaksi, dan beragam hal yang aku dapatkan dengan menjajakan kakiku di kampus ini.

Aku kuliah atas kebaikan negara. Ada sebuah program beasiswa yang aku terima dari DIKNAS yang bekerjasama dengan Sekolah Pascasarjana Sahid Jakarta.
Magister Manajemen Pariwisata yang saat ini aku jalani merupakan sebuah Program Beasiswa Unggulan (PBU). 18 bulan target yang harus dicapai untuk mendapat gelar MM. Tidak sepeserpun biaya yang aku keluarkan selama masa kuliah (kecuali uang pendaftaran dan tes TOEFL di awal saat aku mendaftar ikut program ini).

Semua buku dibagikan gratis. Biaya fotokopi (sampai jumlah tertentu) juga dibebaskan. Kegiatan studi lapangan di luar kota selama beberapa hari pun dibiayai. Beberapa teman bahkan mendapat kesempatan untuk mengambil dual degree MM-MBA di UUM, Malaysia. Sedangkan yang tersisa, dijanjikan mendapatkan uang saku sejak selama 18 bulan perkuliahan (hm, yang di Malaysia juga dapat living cost sih, tapi dalam jumlah yang berbeda).

Menurutku, jumlahnya lumayan. Rp. 1.250.000/bulan.
Terbagi menjadi dua pos; Rp. 1.000.000 untuk uang saku dan Rp. 250.000 untuk uang buku yang dikelola kampus.

Sudah 10 bulan perkuliahan dimulai. Ini adalah semester terakhir bagi kami mengambil mata kuliah. Setelah UTS, Proposal Thesis sudah harus masuk. Seminggu sesudahnya dijanjikan akan mendapatkan pembimbing dan sebelum UAS diharapkan semua mahasiswa sudah kolokium untuk akhirnya nanti dapat melakukan penelitian.

Trus, kenapa aku harus membahas tentang bodoh dan naif?

Terkait dengan beasiswa dan uang saku yang dijanjikan, sampai detik ini, kami semua belum ada yang menerima uang tersebut. Bahkan teman-teman yang berangkat ke Malaysia sama sekali tidak mendapatkan jatah uang selama dua semester pertama mereka di Indonesia. Uang saku mereka hanya dihitung selama di UUM, padahal hak mereka selama dua semester pertama pun seharusnya diberikan.

Alasan dari kampus dan DIKNAS adalah karena anggaran terbatas dan dikurangi, oleh karena itu, uang saku mereka dijadikan sumber tambahan biaya kuliah di Malaysia (hmm, aneh kan? Harusnya anggaran sudah dirancang sejak awal sehingga mampu mencukupi semua kebutuhan baik di Malaysia ataupun di Jakarta, apalagi ini bukan program perdana, kami adalah angkatan ke-4, sudah banyak pelajaran-pelajaran yang bisa diambil, baik oleh pemerintah dan pihak Sahid untuk memperbaiki sistem setelah beberapa kali penyelenggaraan program ini). Entah ini merupakan permainan atau memang begitu adanya.

Selama berbulan-bulan, kami ‘dibungkam’. Diberi berbagai macam alasan. Uang belum keluar dr DIKNAS lah, menunggu kepastian yang berangkat ke Malaysia lah, dan berbagai alasan lainnya.

Berbagai pertemuan diadakan, luapan emosi atas ketidakjelasan atas beasiswa ini pun terjadi. Tidak hanya masalah uang saku, namun mengenai kejelasan sistem beasiswa ini, pembiayaannya, output serta outcome-nya.

Di awal penandatanganan kontrak belajar, kami SEMUA dijanjikan akan berangkat ke Malaysia, bahkan kami ‘dipaksa’ berjanji untuk berangkat dan meninggalkan pekerjaan yang ada di Jakarta demi lancarnya program ini, tidak boleh ada yang tersisa di Jakarta. 15 orang harus berangkat! Setidaknya itulah kontrak yang kami tandatangani.

Beberapa bulan kemudian, muncul pejabat dari DIKNAS, tiba-tiba menyampaikan berita bahwa anggaran dikurangi, PEMILU menghabiskan banyak dana, pemerintah tidak punya uang untuk memberangkatkan semuanya (artinya perjanjian dan kontrak awal gugur dan kami ‘terpaksa’ menandatangani kontrak baru), akan ada seleksi lanjutan untuk dapat berangkat ke Malaysia, akan ada masalah letter of acceptance dari UUM, TOEFL lainnya yang harus diikuti, bla..bla..bla..
Lagi-lagi serba tidak jelas!

Beberapa bulan selanjutnya, muncul lagi pejabat DIKNAS tersebut. Dia mengatakan “…bahkan saya tidak bisa menjanjikan 50 % siswa berangkat ke Malaysia, mungkin hanya 2 atau 3 orang. Namun bisa kita siasati dengan program SWAP….” (swap?apaan tuh? bikin tambah bingung saja!)

“Dengan program SWAP, maka bisa ada tambahan 2 atau 3 orang lagi untuk berangkat ke Malaysia. Dengan program SWAP, pembiayaannya bukan dari anggaran PBU, tapi ini merupakan program lain yang diberikan untuk orang (misalnya: guru, dosen, peneliti, wartawan, dsb.) yang memiliki proposal penelitian yang bagus dan diproyeksikan akan memperkaya hasil-hasil penelitian yang ada di Indonesia…,” lanjutnya. (Oh, jadi sekarang orang DIKNAS bermain kucing-kucingan dengan sistem mereka sendiri. Wong jatah untuk penelitian kok diberikan kepada mahasiswa yang mau mengambil dual degree. Gak tepat sasaran dong programnya?) serta banyak lagi ketidakjelasan yang ada.

Yang aku tahu, DIKNAS seharusnya bertanggungjawab untuk semua kelancaran serta proses beasiswa ini. Namun, kenapa institusi ini terasa tidak ‘berpendidikan’?
Tidak memiliki sistem yang jelas, tidak ada alur yang benar, tidak tahu siapa yang bertanggungjawab, siapa kontak person-nya, ada banyak perubahan-perubahan aturan dalam hitungan bulan bahkan minggu, sehingga setiap pertemuan dengan pihak DIKNAS selalu saja menimbulkan perasaan tidak tenang, resah dan berbagai kebingungan atas ketidakkonsistenan yang terjadi.

Namun, ironisnya, aku selalu percaya apa yang mereka sampaikan. I always take all those things for granted!

Aku seperti memiliki kepercayaan dan tingkat toleransi yang tinggi menghadapi para birokrat ini. Aku merasa bahwa mereka dapat dipercaya. Bahwa alasan-alasan tentang kondisi negarayang sulit bla bla bla itu memang nyata, sehingga kami tidak seharusnya berlebihan menuntut hak kami. Aku percaya dan memegang nilai keyakinan bahwa tiap orang sejatinya baik. Tidak ada yang jahat. Entah aku memang bodoh atau terlalu naif mengakui ‘there’s something wrong in here’?

Walau demikian, ada sebuah kesadaran diri yang muncul melihat kejadian yang ada serta pasifnya reaksiku ini. Aku merasa menjadi orang bodoh dan mau dibodohi (sehingga percaya apapun yang dikatakan!) atau sebenarnya memang aku terlalu naif sehingga menganggap bahwa yang terjadi saat ini merupakan hal yang wajar dan apa adanya?

Menghadapi masalah ini, beberapa teman ada yang menjadi sangat emosional. Yang berprofesi sebagai wartawan bidang pendidikan di salah satu surat kabar nasional pun tidak kalah gerang dan mengancam akan membuat tulisan serta membuat opini publik mengenai hal ini. Menurut investigasinya, anggaran sudah turun dan seharusnya sudah sampai ke tangan mahasiswa.

Pada kenyataannya, kami hanya dibuat bingung dengan ketidakjelasan yang ada. Beberapa yang lain marah, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Ada pula yang kritis terhadap kebijakan ini dan terus mencecar DIKNAS serta kampus dengan berbagai pertanyaan yang memojokkan. Ada pula yang diam.

Aku termasuk yang diam, mungkin karena aku sudah ‘pengalaman’ dengan program beasiswa yang sama (Beasiswa Unggulan!) saat aku kuliah di Unsoed dulu. Sama-sama tidak jelas! Sudah lama kekesalan serta kekecewaanku habis akan tingkah polah birokrat ini.

Sebaiknya pemerintah tidak perlu menjanjikan apapun terhadap masyarakat. Pada kenyataannya, janji-janji tersebut hanya sekedar omong kosong belaka. Berbagai kata dipelintir menjadi hal yang lain yang ternyata berbeda dengan apa yang sudah dijanjikan di awal.

Menurutku, ini merupakan masalah krusial!

Untuk kasus PBU Aktifis di Unsoed (waktu itu dijanjikan bahwa 20 orang mahasiswa akan berangkat dan terbagi ke beberapa negara di ASEAN untuk studi banding serta belajar selama 6 bulan. Ada pertukaran informasi, budaya, serta bertukar pemahaman demi mempererat hubungan antara negara-negara tersebut). Tiba-tiba muncul ketidakjelasan. Para penerima beasiswa dibuat bingung, di’gantung’kan dengan kondisi yang ada.

Bahkan saya merasakan kerugian imaterial dari kondisi tidak jelas ini -menunda kelulusan, terhambat mendapat kerja (Sebulan setelah lulus, saya dipanggil wawancara akhir di sebuah perusahaan. Pertimbangan saya waktu itu, kalau TIBA-TIBA dipanggil DIKNAS untuk berangkat, bagaimana mungkin meninggalkan pekerjaan secara tiba-tiba).

Hasilnya, saya gugur masuk ke perusahaan tersebut setelah saya menyampaikan kondisi riil saya. Dengan jujur, saya sampaikan ke perusahaan bahwa saya ada kemungkinan berangkat ke luar negeri atas bantuan beasiswa yang saya terima. Ternyata, sampai setahun setelah kelulusan saya pun,kepastian yang saya tunggu itu tetap NIHIL.

Sampai akhirnya saya menjadi TIDAK PEDULI dengan program beasiswa untuk Unsoed itu dan memutuskan untuk tidak lagi melewatkan berbagai kesempatan yang ada di depan mata hanya karena Program Pemerintah yang TIDAK JELAS yang namanya Beasiswa Unggulan Aktifis.

Baru setelah saya mendapatkan beasiswa lain (yang namanya juga Beasiswa Unggulan!) dan dapat kuliah gratis dual degree Sahid – UUM, saya dapat informasi kepastian keberangkatan atas Beasiswa Unggulan Aktifis.

Pada kenyataannya, perjalanan yang dijanjikan selama 6 bulan, dipotong dengan sadis oleh DIKNAS hanya tersisa SATU MINGGU!!
Beberapa teman di Unsoed berangkat ke Malaysia selama seminggu, sedangkan saya dan beberapa teman lain yang sudah bekerja serta kuliah tidak bisa meninggalkan kewajiban kami, akhirnya dapat kompensasi seadanya.

Memang DIKNAS akhirnya merealisasikan program tersebut (Hm, apakah program enam bulan dipotong menjadi satu minggu dan dilaksanakan setelah lebih dari satu tahun setelah waktu yang dijanjikan dapat dikatakan sebagai sebuah perealisasian program?).

Kenapa saya merasa bahwa yang dilakukan DIKNAS sama sekali tidak mengacuhkan berbagai macam rencana, visi, misi, tujuan, manfaat, output serta outcome yang sudah mereka rancang dalam menyelenggarakan sebuah program. Dan menurut saya bodoh, jika kita merasa dan berkata “Yang penting saya bisa berangkat ke Malaysia, walau cuma seminggu…” atau berkata “..syukur-syukur masih bisa diberangkatkan ya…”

Ibaratnya, kita dapat warisan 100 juta, tapi ternyata hanya dikasih 5 juta saja. Terus kemana sisa uang 95 juta rupiah yang merupakan hak kita? Tapi kita menjadi diam karena setidaknya uang 5 juta sudah di tangan, coba memasrahkan sias uang 95 juta tersebut.

Esensinya bukan seperti itu, kita seharusnya bukan berfikir ‘yang penting berangkat’, tanpa mempertimbangkan bahwa kita seharusnya mendapatkan kemanfaatan LEBIH atas program ini -untuk pada akhirnya bisa berkontribusi LEBIH untuk negara yang sudah membiayai kita.

Tapi kami dipaksa berfikir seperti itu, kami dipaksa berfikir bahwa hak kami sudah hilang atas alasan berbagai masalah yang melanda negeri, kami dibungkam untuk menuntut apa yang sudah dijanjikan kepada kami. Ini merupakan ketidakadilan dan kami merupakan minoritas dibandingkan dengan para birokrat pemilik kekuasaan tersebut. Seenaknya saja mereka melakukan ‘power abuse’ terhadap hak kami.

Bila demikian adanya, JANGAN JANJIKAN KAMI APAPUN!!

Lama sekali saya terdiam dan mencoba mengidentifikasi diri sendiri. Kenapa saya terdiam begitu lama, pasif serta pasrah terhadap kondisi-kondisi tersebut. Saya berfikir, apakah saya memang bodoh -selayaknya orang yang tidak berpendidikan dan tidak sadar bahwa saya dibodohi-, atau memang saya terlalu naif -sadar bahwa saya dibodohi, namun tetap yakin bahwa pada dasarnya orang-orang tersebut tidak bermaksud jahat dan tidak sedikitpun mau mengambil apa yang bukan hak mereka.

Saya selalu yakin bahwa bila memang sesuatu merupakan rezeki dan tuhan berkenan, saya pasti akan mendapatkannya. Namun, saya lupa bahwa berusaha untuk meminta hak, bertanya dengan tegas mengenai ketidakjelasan yang ada, menuntut kredibilitas serta menyuarakan hak saya merupakan bagian dari USAHA untuk mencari ridhoNya selain juga doa-doa yang selalu saya panjatkan agar Tuhan ridho dan memanjangkan tangan saya untuk menerima rezeki tersebut.

*Untuk teman-temanku yang terombang ambing dalam ketidakjelasan program beasiswa DIKNAS ini, semoga Tuhan selalu memberikan kita kesabaran, keyakinan serta kemudahan untuk menuntut apa yang sudah mereka janjikan kepada kita. Semoga kaki kita tidak lelah melangkah lebih jauh, mata kita tidak lelah melihat lebih dalam, tangan kita tidak lelah bertindak lebih banyak dan pikiran kita tidak lelah berfikir lebih keras. Dengan membicarakan dan menuntut ini, bukan berarti kita tidak bersyukur atas apa yang sudah kita terima. Semoga keyakinan bahwa apapun yang terjadi dan kita jalani merupakan jalan terbaik yang diberikan Tuhan kepada kita serta keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja akan menjadikan kita semakin kuat berdiri.

.15000.


Rp. 15000 uang yang aku pegang tiap kali berangkat ke kampus untuk kuliah. Namanya juga kuliah gratis, makanya nominal uang yang kupegang sebagai ongkos berangkat dan pulang kuliah terlihat ‘wajar’. Gak mampu diriku atau orang tuaku membiayai kuliah S2. Untung ada beasiswa. Jadi walau cuma ada 15.000 di tangan, kuliah tetap jalan=) Alhamdulillah…

Sejak dulu, gw gak pernah mau kuliah di Jakarta (selain di UI – yang tyt gak ksampaian=)) ataupun di universitas swasta (yang ternyata luluh oleh tawaran beasiswa DIKNAS=)).

Knp gak mau di Jakarta?
Karena gak mau macet-macetan dan berdiri di atas bus kejar-kejaran waktu dengan jadwal kuliah.
Dulu, kalau gw naik bus, gw suka aneh dan bingung sama anak-anak sekolah dan kuliah yang ‘rela’ sekolah dan kuliah dengan berdesak-desakan di atas bus menuju Jakarta.

Eh, malah kena karma sndiri. Skrg gw bolak/ik naik bus ke Jakarta.
Uwft..

Kenapa gak mau swasta?
Karena menurut gw, bangga banget bisa kuliah di univ. Negeri dan lolos SPMB (baca: SNMPTN). Waaa…bangga banget lah bisa ngalahin ratusan ribu pesaing masuk perguruan tinggi negeri. Kalau di swasta mah yang penting punya uang. Bayar uang masuk puluhan juta, biaya semesteran berjuta-juta. Beda sama UNSOED yg cuma bayar biaya masuk (waktu itu!) kurang dari 1 juta dan biaya per semester 400rb rupiah saja.

Yah, jangan heran, keluargaku memang pas-pasan. Jadi, bapak selalu mewanti-wanti. Kalau mau kuliah, harus di Univ. Negeri. Klo gagal, gak usah kuliah sekalian. Bapak Ibu gak sanggup membiayai.

Nah, dari situ jadi tambah termotivasi untuk msk univ. Negeri. Selain karena kebanggaan, juga urusan duit yang gak bikin pusing bapak ibu.

Jadi, walaupun orang-orang gak ngerti UNSOED Purwokerto. Lama2 juga nanti paham betapa hebatnya kampus itu:D hahaha…
Kalah saing hanya karena akses ke daerah lebih sulit aja kok. SDMnya? Gak kalah hebring euy=) wkwkwk…

Nah, balik ke uang Rp. 15.000,-
Tiap ke kampus yang 3 kali dalam seminggu, aku dikasih ongkos hanya 15.000. Bapak ibu gak bisa kasih ongkos lebih karena memang punya masalah keuangan.

Uang 15.000 tuh berarti bgt.
Dari rumah menuju ke Prapatan Sinta (untuk naik patas ke Jakarta) : Rp. 2000

Alternatif 1:
Naik patas AC 62 dan berhenti langsung di depan kampus di daerah Sudirman: Rp. 6500,-
(Dulu, sebelum sadar betapa hidup harus irit, aku lebih suka naik bus AC. Batinku, wong cuma beda 3rb perak aja kok milih naik bus non AC yg super panas? 3rb kan gak tll besar nilainya!

Wah, ternyata pikiranku dulu sama sekali gak ekonomis. Sejak tahu hidup di Jakarta tuh susah, aku beralih ke Patas non AC, sebut saja bus favoritku, patas 45. Yang super reot, lama kalau ngetem, penuh sesak, bergoncang, namun murah dan cepat kalau jalan di tol:D

Alternatif 2:
Ya, sekarang aku lebih memilih naik patas 45 daripada bus AC. Lumayan irit. Ongkosnya dulu 3000 (sekarang turun jadi Rp.2500). Trus turun di Slipi Bawah dan nyambung lagi naik patas 213 turun di Sahid Sudirman. Biayanya 2000.
Lumayan bisa irit Rp.1500 dibandingkan naik patas AC yang 6500 itu.
Nah, total biaya brngkat ke kampus adalah 2000 + 3000 + 2000 = 7000,-

Dari 15.000, masih ada sisa 8000 utk ongkos plg. Untung aja di kampus dapat snack gratis, jadi ga perlu makan malam lagi (mksudnya, bias menunda lapar nanti sampai di rumah=)).
Pulang kuliah, naik patas 213 lg ke Slipi, Rp.2000. Kalau Non Elda lg dijemput dan pulang ke Rawa Belong, lumayan bisa numpang mobilnya sampai Slipi. Gratis! Irit 2000. Lumayan bisa nabung=)

Trus naik patas 45 lg, 3000 perak. Sampai Tangerang, Bapak sering jemput di Prapatan Kantor, jadi sisa uang 3000ku utuh…
Alhamdulillah, kadang bisa kasih ke pengamen, kadang kalau lagi pelit, aku simpan sendiri. Biar ada pegangan klo bolak/ik Jakarta. Trus di akhir minggu, aku bisa ngumpulin uang untuk beli pulsa m3 yang 10rb. Pokoknya, kalau bisa, ga boleh minta terus sama bapak/ibu. Pulsa harus irit, seminggu 10rb. Itupun dibeli dari sisa uang 15rb yang sbnrnya pas-pasan!

Hebatnya, Tuhan selalu menjaga umatnya. Alhamdulillah gak ada kejadian yang aneh walau aku hanya pegang uang pas-pasan. Emang pas bgt utk ongkos! Walau dengan malu hati tidak bisa kasih uang ke pengamen atau pengemis yang lewat. Bukannya pelit, tapi memang benar-benar tidak punya uang.

Tapi siapa percaya?
Hape Nokia N70, baju rapih, gaya anak kuliahan banget, tentengan buku-buku tebal karya Kotler, O’Brien, Inskeep, etc.
Masa 500-1000 rupiah aja gak bisa kasih?

Sejak itu, aku brjanji klo sudah kerja, gak mau hidup ‘susah’ lg. Gak mau py dompet yang gak ada uangnya, gak mau berpaling muka dari pengemis atau pengamen yang lewat. Gak mau!!
Gw benar-benar merasa hidup susah saat itu. Gak ada tempat mengadu. Gak ada yang bisa bantu.
Begitulah kehidupanku, seorang pengangguran yang kuliah S2, mengantongi hanya 15.000 rupiah demi mencari kehidupan yang lebih baik.

Mungkin terdengar ironis, bohong, atau palsu. Tapi itu kenyataannya. Yang ironislah yang selalu menarik untuk didengar dan diceritakan. Selama itu pula gw bertahan. Sering kali, semangat kuliah yang berkobar bisa mengalahkan masalah finansial. Yang penting gw pegang uang 15rb. Gw bs kuliah, gw bisa balik ke rumah.

Yang aneh, gw tyt menikmati perjalanan naik bus itu. Selalu saja ada inspirasi yang muncul saat duduk (atau berdiri!) di patas 45. Gw tyt mrasa nyaman. Gak lagi mrasa terganggu atau gak nyaman. Kebiasaan hidup susah, membuat diri bradaptasi untuk bs bertahan hidup. Wlau untuk sampai rumah bisa sampai jam 12malam (kuliah dari jam5-10 malam). Tapi aku menikmatinya.

Sekarang, stlh sudah bekerja, aku tahu bahwa aku semakin tidak layak mengeluh.
Dulu gak mengeluh (well, skali2 suka mengeluh dan iri sih. Pgn py kendaraan sndr. Pgn beli jajan. Pgn beli makanan enak,etc, tp duit cuma 15rb=), tp kebanyakan hanya menikmati fase ‘bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian’=)). Sekarang juga tidak boleh mengeluh! Hehe

Gak ada lagi rasa khwtr krn di dompet tdk ada uang. Gak ada lagi rasa malu karena harus pura-pura berpaling dari pengamen atau pengemis yang lewat. Gak ada lagi rasa minder kepada teman-teman. Gak perlu lagi menengadahkan tangan ke bapak ibu.

Gak ada lagi Annisa yang manja. Kalau dunia tidak ramah, masih ada Tuhan yang membantu menghadapi semua. Hanya perlu KEYAKINAN bahwa aku akan baik-baik saja.
Sekarang, tiap kali naik patas 45, aku ingin menangis. Kagum bgmn diri ini bs brtahan dgn uang 15.000 di tangan. Di kota besar bernama Jakarta yang katanya lebih kejam dari ibu tiri.

Tapi aku bertahan..
Alhamdulillah..

Tuhan, kumohon, jangan berikan hamba cobaan yang tidak sanggup hamba pikul. Tunjukkanlah cahayaMu dalam kegelapan yang menyelimuti jalan hamba. Jadikan aku selalu bersyukur atas semua nikmatMu.

Sampai saat ini pun aku masih belum kaya, tapi aku pasti akan membahagiakan orang-orang di sekelilingku dengan rezeki yang kumiliki.

Hidup susah ternyata tidak selalu buruk. Itu menjadikanku lebih bersyukur. Semoga aku tidak menjadi lupa diri. Amien..

Hmm..kayaknya cocok deh kalau lagu JANGAN MENYERAH-nya D’Masiv jadi soundtrack notes ini.

.5 juli.


Demi menulis blog ini, aku buka google dan cari informasi mengenai sejarah yang terjadi di dunia pada tanggal 5 Juli. Yang paling kuiingat, tanggal 5 Juli tuh ulang tahunnya Shane Fillan ‘Westlife’. Ingat zaman dulu ngefans sama Westlife dan lagu-lagunya. hehehe:D *nyengir kuda.

Trus 5 Juli tuh satu hari setelah hari kemerdekaannya Amerika Serikat:)

Ahh, ternyata banyak kejadian juga pada tanggal ini=)

* 2003 – SARS dideklarasikan sebagai virus yang menular oleh WHO -duh, dulu heboh banget gara2 SARS yah

* 2004 – Pemilihan presiden pertama secara langsung di Indonesia -dulu aku nyoblos di Purwokerto. Itu adalah pemilu pertamaku:) Masih nyblos loh, bukan contreng! :D hehehe

* 1959 – Dekrit Presiden

* 1950 – Parlemen Israel mengesahkan Undang-Undang Kepulangan yang memberikan kaum Yahudi di seluruh dunia hak untuk pindah dan menetap di Israel.

* 1811 – Hari Kemerdekaan Venezuela

* 1962 – Hari Kemerdekaan Aljazair

* 1975 – Hari Kemerdekaan Tanjung Verde

* 1996 – Dolly, Mamalia pertama yang di-klon. -Hihihi..sama2 lahir tanggal 5 Juli kayak si domba Dolly:p

Trus apa pentingnya 5 Juli untuk aku?

Ya, sesederhana karena aku lahir tanggal 5 Juli. Sebenarnya, aku tidak suka bulan Juli. Dulu, saat sekolah; SD, SMP, SMA sampai kuliah. Aku selalu sedih karena ulang tahunku bertepatan dengan liburan panjang sekolah. Aku selalu takut, tidak ada teman yang memberikan kejutan di hari ulang tahunku, bahkan mereka lupa ulang tahunku. Kecewa kenapa harus lahir bulan Juli. Kekanak-kanakan banget yah :D

Sekarang, bulan Juli juga jadi gak terlalu menyenangkan. Teman-teman baikku pergi melanjutkan studi di Malaysia. Aku tertinggal di Indonesia. Sepi rasanya kampus tanpa mereka :(

Nah, walau aku udah kerja dan saat kerja gak ada liburan seperti saat di sekolah dulu, tapi tahun ini, tanggal 5 Juli jatuh hari Minggu :D hahaha.. so, liburan lagi kaaan? :D

Yang paling kuiingat adalah tanggal 5 Juli 2006, aku dapat surprise saat kita latihan debat sampai jam 12 malam. Waktu itu sedang persiapan untuk ikut Java Overland English Debate (JOVED) di UPH. Dikasih kue sama teman-teman debat serta pelatih setelah training debat yang panjang :) Menyenangkaaann…

Trus yang tahun 2007, 2008 lupa.. Aku benar-benar punya masalah daya ingat yang sangat kroniss :D hihi..

.take care of me, and I’ll take care of you.


Kata-kata di atas adalah hal yang aku simpulkan dari hubungan-hubunganku dengan orang lain.
Kalau kita mau ‘menjaga’ orang lain, maka orang tersebut pun akan ‘menjaga’ kita. Apapun makna ‘menjaga’ yang dimaksud. Sebaliknya, kalau bersifat egois dan tidak mau peduli urusan serta kebutuhan orang lain, maka jangan harap orang lain pun mau peduli dan memahami kebutuhan kita.

Saat aku berhubungan dengan orang lain, aku selalu menjadi ‘bunglon’. Entah hal ini baik atau tidak, tapi aku ‘pandai’ membaca kebutuhan orang lain serta tahu apa ‘treatment’ yang tepat untuk membuat mereka nyaman denganku. Aku bisa melakukan pendekatan yang tepat untuk membuat mereka membuka diri terhadapku (kalau aku mau!).

Puji mereka. Dengarkan dengan hati untuk setiap cerita mereka -seberapapun gak pentingnya cerita tersebut:). Perhatikan apa kesukaan mereka -pada saat yang tepat, tunjukkan bahwa kita memperhatikan mereka, mereka akan terkejut karena tidak sadar bahwa selama ini mereka diperhatikan. Perhatikan perubahan mimik muka serta emosi mereka. Bermurah senyum. Yang paling penting, menempatkan diri ke dalam situasi mereka dan mengambil sikap yang tepat. Untuk tahu bagaimana sikap yang tepat, tempatkanlah diri kita dalam posisi mereka dan bayangkanlah respon seperti apa yang kita ingin dari orang lain.

Setidaknya itulah yang aku lakukan untuk membuat orang senang berada ada di dekatku.

Permasalahannya, seringkali aku memiliki ‘standar’ yang sama dengan ‘standar’ yang aku terapkan dalam hubunganku dengan orang lain. Saat aku kecewa, aku bisa mudah sekali menarik diri dari hubunganku dengan orang lain. Saat aku menarik diri, sebagian dari mereka ada yang merasa bahwa ada perubahan dalam sikapku. Mereka bilang, aku bersikap tidak seperti biasanya, kadang tidak bisa kujelaskan mengapa.

Mungkin aku menjadi egois dan berkata kepada diriku sendiri untuk acuh kepada mereka yang mengacuhkanku. Aku berfikir strategis untuk tidak ‘membuang waktu’ kepada orang yang memang mengecewakanku.

Hubungan memang seharusnya bersifat resiprokal. Dalam bahasa sederhananya, harus ada timbal balik antara satu individu dengan individu lainnya. Artinya, dalam berhubungan ada kepentingan yang saling terpenuhi. Ada kebutuhan yang saling terlengkapi. Ada mimpi yang didukung. Ada banyak pemikiran yang diamini. Ada rasa sayang dan perhatian yang berbalas. Apapun dalam kesetaraan antara keduanya. Saat hubungan ini menjadi berat sebelah, maka sudah tidak mungkin setara dan semuanya menjadi tidak ‘seimbang’ bagi kedua belah pihak.

Mengenal diri sendiri dengan baik akan membantu proses mengenal orang lain dengan lebih baik.
Kita sebenarnya selalu tahu bagaimana caranya membuat orang menyayangi dan peduli kita.
Pertanyaannya, sampai sejauh mana kita mau menekan sikap egois yang ada di diri dan menyadari arti penting hadirnya orang lain. Sehingga tidak selalu menganggap bahwa dunia ini milik sendiri dan kita bebas melakukan apapun sesuka kita. Ini termasuk bagaimana memperlakukan orang lain.

Aku selalu percaya; apa yang kutanam adalah apa yang akan kutuai.
Semoga Tuhan memberikan banyak kesempatan untukku menanam kebaikan-kebaikan dalam hidup orang lain di sekitarku. Amien…

At the end, even if they don’t care about me, God will take care of me… Amien:)