[Movie Review] The Fault in Our Stars


The Fault in Our Stars Theatrical Poster

The Fault in Our Stars Theatrical Poster

You don’t get to choose if you get hurt in this world, old man, but you do have some say in who hurts you.” John Green

Dua bulan lalu, sahabat saya bercerita tentang sebuah buku yang baru saja selesai dia baca. “The Fault in Our Stars wajib banget lu baca, Nisa. Ceritanya bikin gw mewek“, katanya tentang buku karya John Green itu. Sahabat saya adalah seorang kutu buku, saat dia merekomendasikan sebuah buku bagus, tanpa pikir panjang saya akan langsung mencari dan membacanya. Di sela kesibukan bekerja, saya berhasil menyelesaikan buku tersebut hanya dalam dua hari. Jalan cerita dengan isu yang begitu sering terdengar namun juga terasa asing di kehidupan saya menjadi daya tarik di buku yang juga mendapatkan kritik positif dari The New York Times. Begitu mengetahui bahwa The Fault in Our Stars akan diangkat ke layar lebar, saya tahu bahwa saya harus menonton di bioskop favorit saya.

Film The Fault in Our Stars diadaptasi dari buku yang berjudul sama. Shailene Woodley -yang memang sudah menjadi aktris favorit sejak aktingnya di film The Spectacular Now- langsung menjadi daya tarik tersendiri. Di film ini, Shailene berperan sebagai Hazel Grace, seorang gadis 16 tahun yang berjuang menghadapi penyakit kanker tiroid. Di tengah keterbatasannya, Hazel Grace berusaha untuk dapat hidup senormal mungkin. Akting Shailene di film karya Josh Boone -seorang sutradara muda yang juga membuat film Stuck in Love- sangatlah prima. Saat disandingkan dengan Ansel Elgort (Divergent dan Carrie) yang memainkan karakter Augustus Waters, keduanya menciptakan on-screen chemistry yang sangat solid dan mampu membuat penonton di studio tertawa, tersenyum dan menangis hanyut ke dalam cerita cinta remaja yang tidak kalah dengan kisah Romeo and Juliet.

Kisah cerita film ini sebenarnya sangat simpel, namun begitu kaya dengan filosofi dan makna. Hal inilah yang menjadi keistimewaan The Fault in Our Stars dibandingkan dengan film lainnya. Banyak kutipan di film yang membuat perasaan saya membuncah ataupun merefleksikan beberapa kisah di masa lalu. Begitulah dahsyatnya John Green dalam bermain kata-kata.

Sinematografinya sangat bagus dengan sudut pengambilan gambar yang dapat memunculkan perasaan romantis di hati penonton. Tidak hanya untuk remaja, film ini juga dapat dinikmati oleh beragam kalangan. Hal lain yang istimewa dari film yang langsung mendapatkan box office di minggu awal penayangannya adalah pilihan soundtrack yang jawara. Deretan artis ternama seperti Ed Sheeran, Birdy, dan Kodaline ikut meramaikan film ini. Tidak ada satupun lagu yang tidak saya suka, semuanya ditempatkan dengan tepat di setiap adegan untuk memainkan emosi penonton dengan sempurna.

The Fault in Our Stars mengambil lokasi syuting di beberapa tempat, diantaranya Hotel Mansions of Fifth di Pennsylvania dan The Anne Frank Hause di Amsterdam. Saat saya dan Tami menonton film ini, sahabat kami, Anggita sedang kuliah di Amsterdam. Gembira rasanya bisa melihat kota Amsterdam di film ini. Tak ayal kami pun membayangkan betapa indahnya bisa jalan-jalan di sana. Film ini begitu emosional bagi saya karena mengingatkan ke seorang mantan. Film ini membuka beberapa luka yang sudah saya coba tutup sejak beberapa tahun terakhir. Saya teringat kata-kata Augustus Waters, “The world is not a wish-granting factory.” Saya setuju dengannya, namun bukan berarti kita tidak bisa memiliki harapan.

Saya tidak akan banyak bercerita tentang plot film ini karena ingin semua yang membaca blog ini merasakan sendiri roller coaster kisah dua anak manusia yang begitu hebat dan dewasa menghadapi sebuah penyakit yang hingga saat ini masih belum ditemukan obatnya. Penyakit kanker membuat orang-orang muda ini memiliki kebijakan dan kedewasaan yang sangat menginspirasi. Salut untuk teman-teman yang bertarung dengan kanker dan juga untuk keluarga yang sabar manghadapinya. I couldn’t imagine how hard it could be.

Cari bukunya di sini (lagi ada diskon loh!)