Demikian komentar seorang teman setelah aku mempublikasikan fotoku pertama kali kembali ke sekolah setelah enam tahun berlalu. Foto itu berlatar belakang papan nama sekolahku dulu saat aku masih menjalani hari-hari di SMA.
Ada banyak alasan mengapa aku tidak pernah kembali setelah sekian tahun. Bukan karena sekolahnya angker, bukan karena universitasku jauh di Purwokerto sana, bukan karena kisah-kisah cinta SMA tak berbalas, bukan pula karena berantem sama teman hanya karena cowok *kayaknya jaman itu gak jauh-jauh dari yang namanya masalah cinta dan cowok :D hehe
Bukan…bukan itu semua..
Tapi karena ‘sindrom aneh’ku. Aku takut sekali kembali ke sekolah. Aku takut bertemu orang-orang yang dulu pernah ada dalam hidupku. Pergi ke sebuah tempat yang sudah pernah aku kunjungi dan penuh dengan memori masa lalu membuatku takut dan tidak nyaman. Tidak bisa kujelaskan mengapa dan walalupun banyak orang ‘protes’ dengan sikapku itu, masih juga sulit kugerakkan kakiku melangkah menjauhi sindrom aneh ini.
Sebenarnya aku punya analisa tersendiri tentang sindrom anehku ini. Tentu ada manifestasi hal yang membuatku enggan menyentuh kembali kisah masa laluku. Beban psikologis serta rasa tidak nyaman yang menjadi-jadi dan beragam rasa takut yang muncul hanya karena hadirnya kembali lakon-lakon masa lalu dalam hidupku. Tapi, tak perlulah kujelaskan di-notes ini.
Minggu itu, 11 Oktober 2009, aku kembali ke sekolah karena diminta untuk menjadi juri dalam lomba debat yang diadakan oleh KIR SMAN1TRA. Entah bagaimana namaku muncul di daftar. Tapi memang beberapa kali seorang teman terus menerus menanyakan kesediaanku untuk membantu di LKIR. Tidak selang begitu lama, seorang panitia mengirimkan pesan dan meminta bantuanku.
Tahu apa yang ada di pikiranku saat mendapatkan tawaran tersebut?
Aku berfikir bagaimana caranya mencari alasan untuk tidak hadir dan menolak tawaran itu. Aku mencari-cari alasan untuk ‘lari’ lagi dari ajakan-ajakan untuk berkumpul dan menemui orang-orang yang dulu pernah jadi bagian terdekat dalam kisah hidupku. Aku ingin meng’iya’kannya, namun aku khawatir nanti harinya tiba, moodku berubah dan aku malah enggan untuk hadir. Tidak bisa kubayangkan bagaimana akibatnya. Berjanji untuk datang, namun karena perubahan mood-ku, kemudian aku memutuskan untuk tidak hadir.
‘Berlari’ itu bukan hal baru untukku, seringkali aku tidak peduli dampak sikapku itu hanya agar aku dapat ‘menyelamatkan’ diriku.
Menyelamatkan diri dari apa?
Yaaa dari kalian. Manusia-manusia biasa yang sebenarnya tidak menggigit, namun dengan bodohnya aku takuti.
Karena tidak bisa membuat alasan lain lagi (atau karena memang aku coba menantang diriku sendiri untuk tidak lagi memanjakan ego serta membiarkan diri ini lebih berani menjalani hidup), aku bersedia untuk hadir pada hari dan tanggal yang telah ditetapkan.
Dua kali mereka mengundangku hadir dalam Technical Meeting, dan dua kali pula aku menolak karena alasan kesibukan. Iya, aku punya kesibukan, tapi seandainya aku MAU hadir, sebenarnya aku bisa saja memprioritaskan acara di SMA. Namun, aku bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya sekali saja hadir kembali di sekolah, apalagi kembali berkali-kali ke sekolah. “Aku tidak akan hadir ke sekolah kecuali tanggal 11 Oktober 2009!”, umpatku. Aku butuh waktu mempersiapkan diri untuk kembali hadir di sana, mungkin 11 Oktober adalah saatnya.
Dua hari sebelum acara tersebut, keringat dinginku mengucur membayangkan harus hadir di Minggu pagi. Status-status facebook-ku tidak jauh dari kata-kata:
“mulai keluar lagi sindrom anehku :(“ (October 9 at 10:52pm)
”tuhanku, jauhkan sindrom anehku terutama untuk esok pagi. Be brave, nis. Face the people. They wont bite!!!’ (Sat at 9:54pm )
“please dont run again, nis….” (Sat at 10:07pm)
Seolah-olah hari itu akan menjadi hari terberat dalam hidupku, malamnya pun aku gak bisa tidur nyenyak dan dihantui ketakutan-ketakutan tak beralasan lainnya.
Alhamdulillah, dengan semangat yang lebih bak, aku berangkat ke sekolah itu.
Di akhir acara, rasanya aku tidak ingin pulang. Senang rasanya bertemu teman-teman lama, adik kelas yang begitu bersemangat mengadakan lomba, dan menemui sisi-sisi ruang yang penuh cerita. Rasanya belum lama aku pernah ada di sini dan menjadi bagian nyata dari sekolah ini. Aku merasa sangat bersyukur karena telah mampu mengalahkan diriku sendiri kali ini. Mengalahkan ketakutan itu.
Aku menang! Sindrom ini kali ini kalah, semoga aku selalu punya kekuatan untuk tidak terus menerus berlari dalam ketakutan yang tak logis dan tak terjelaskan ini.
Reuni masih menjadi ketakutan terbesarku… Lihat saja bagaimana hasilnya nanti… Apakah aku akan terus berlari atau memberanikan diri hadir.
Sekarang kalian tahu pengakuanku….
Bila aku kembali berkata ‘tidak’ atau memberi beribu alasan untuk tidak hadir, kalian sudah tahu bahwa aku sedang ‘berlari’.