.temporary madness.


Malam itu, seorang perempuan menangis terisak di pojok kamarnya. Hanya gelap yang menyergapnya. Dadanya terasa tertumbuk batu raksasa puluhan ton sehingga membuatnya sulit bernafas. Suara tangisnya itu menyimpan berjuta rasa rindu. Rindu yang tak seharusnya. Rindu yang dia tahu tidak akan pernah berbalas. Namun dengan egoisnya tetap bersemayam di ruang hati yang coba dia tutupi dari semua orang di sekitarnya.

Rasa itu tidak pantas! Tidak pantas lagi baginya merendahkan diri di hadapan sosok itu. Sosok yang pernah selalu ada untuknya. Yang membawa angannya terbang namun menghempaskannya dalam waktu yang tidak terlalu lama. Entah apa alasannya. Tak juga kunjung dia temukan alasan mengapa laki-laki itu berlari darinya.

Entah bagaimana lagi caranya membungkam perasaan yang hampir saja mengolok-olok logikanya. Laki-laki itu terlalu indah, terlalu tinggi untuk dimilikinya. Terlalu sempurna. Sempurna dalam kesederhanaannya. Dalam diamnya. Dalam bisunya. Dalam keterasingan yang berhasil membuat orang lain ikut terseret di dalamnya. Perempuan rapuh itu merasa tidak cukup pantas bersanding dengan kebaikan hatinya. Hati yang tidak pernah meminta sehingga mungkin akhirnya menjadi terlalu lelah dan aus.

Sosok itu terlalu baik hingga dirinya tidak menemukan alasan-alasan yang cukup untuk membencinya. Sepertinya dia lebih membenci dirinya sendiri dibandingkan laki-laki yang membuatnya seperti saat ini. Buku cinta mereka sudah lama tertutup. Digembok dan dibuang kuncinya oleh tidak adanya harapan atas kembalinya romansa itu.

Sesaat hilang akal sehatnya. Dia ingin berlari mengejar sosok itu. Melakukan hal-hal yang dulu dia lakukan untuk menunjukkan kasihnya. Membuang harga dirinya. Mengiba padanya. Namun akalnya berperang sengit dengan perasaannya. Sang logika tahu bahwa besok pagi dia hanya akan menyesali tindakan bodohnya. Namun perasaannya begitu mengiba untuk disirami cinta, hingga rela untuk membuatnya kehilangan nilai.

Di akhir pertentangan itu, logika dan perasaannya sepakat berkompromi. Walau tertatih, bibirnya hanya mengucapkan doa-doa terindah; untuk kebahagiaannya dan dirinya. Percakapannya dengan tuhan telah menyelamatkan dirinya dari rasa malu yang tidak akan sanggup dia tahan. Doanya menahannya dari melakukan kegilaan yang akan dia sesali nanti dan menerima kenyataan itu sekali lagi.

.suddenly i see.


Entah kenapa, malam ini aku merasa sangat riang. Aku datang pagi-pagi sekali ke kantor. Sebuah kebiasaan yang muncul kembali setelah sedikit mengendur karena aku ‘terlalu mudah menyerah’ terhadap keinginanku untuk menonton film-film hingga dini hari -yang walau menyunggingkan senyum di wajahku sebelum menutup mata, namun menyisakan wajah kantuk di pagi hari serta keengganan untuk beranjak dari tempat tidur:)

Senang rasanya bisa sampai di kantor sebelum banyak orang hadir, sebelum bos datang dan menyiapkan diri sejenak sebelum menerima bertubi-tubi pekerjaan yang datang. Sungguh menyenangkan!

Belakangan ini, banyak sekali luapan perasaan yang kutulis. Terselip rasa takut, senang, khawatir, lega dan bauran emosi lain setelah menuliskannya, namun itulah sensasinya. Aku tulis jalinan kata-kata itu sepenuh hatiku! Kuletakkan jiwaku di dalam tiap kalimatnya. Saat jariku menari di atas keyboard, aku merasa ada hal lain yang mengambil alih diriku; pribadi yang ingin menjadi lebih terbuka dan berteman dengan dunia; yang tidak terkungkung dalam sempitnya perspektif. Namun sejenak setelah aku mempublikasikannya, ada bagian jiwa lain yang berontak. Ada kesadaran baru yang mengingatkan diriku untuk menjadi lebih ‘terkontrol’ dan menyimpan hal-hal yang seharusnya hanya diriku yang tahu. Ah, biar sajalah pertentangan itu terjadi di dalam batinku.

Sekarang aku punya ‘rahasia’ lain untuk kubagi.

Aku takut sekali mempunyai perasaan bahagia. Iya, aku takut menikmati -setiap kebahagiaan yang kurasakan- hingga ke akar-akarnya; meresapi kebahagiaan itu, tersenyum lebih lama, bahkan tertawa lebih lebar. Hingga seringkali aku menahan diri untuk berbahagia. Aku takut bila aku terlalu merasa bahagia, Tuhan akan mengirimkan kesedihan yang ‘terlalu’ juga, sehingga cara terbaik untuk menghindari kesedihan yang sangat banyak adalah dengan berbahagia lebih sedikit.

hmm, menurutmu itu tidak masuk akal?

Sayangnya itu sangat masuk di akalku. Aku memiliki keyakinan bahwa Tuhan selalu menyiapkan tiap hal ke dalam dua sisi mata koin. Bila sudah siap menjadi sangat berbahagia, maka aku harus siap menjadi sangat bersedih. Dan aku tidak pernah sanggup untuk menjadi sangat bersedih. Jadi, aku melakukan ‘permainan’ dengan Tuhan. Kubuat diriku tidak terlalu bahagia, agar akupun tidak terlalu bersedih. Logika sederhana berbanding lurus!!

BANYAK Berbahagia = BANYAK Bersedih
sehingga,
SEDIKIT Berbahagia = SEDIKIT Bersedih

Seringkali aku ‘menghukum diriku’ untuk tidak merasa terlalu bahagia atau banyak berharap karena aku takut konsekwensi atas kebahagian yang tengah kurasakan adalah kesedihan yang teramat sangat.

Jauh dari perbincangan nan sederhana -namun kusampaikan dengan rumit- di atas, saat ini semangatku terpompa oleh lagu KT Tunstal – Suddenly I See. Entah magic apa yang dihantarkan lagu ini ke dalam sel-sel otakku sehingga mampu memproduksi endorfin lebih banyak dan menstimulus syaraf bahagiaku.

Tapi saat ini AKU BAHAGIA. Tidak ada alasan khusus! Tidak karena aku memiliki pendamping -yang selama ini aku cari, tidak karena aku dapat uang banyak dari kampus -seperti yang selama ini dijanjikan pemerintah, tidak karena aku menjadi kurus, tidak karena ada kejutan manis yang aku terima, tidak karena lalu lintas di Jakarta tiba-tiba menjadi ‘bersahabat’ dan tidak karena ‘definisi-definisi kebahagian’ dalam ‘kamus’ diriku terpenuhi.

Sungguh tidak kutemukan alasan apapun.

Mungkin memang merasa bahagia sesungguhnya tidak memerlukan embel-embel tersebut. Cukup karena Tuhan memperdengarkan lagu indah di telingaku dan membuatku ‘melihat’ kebahagiaan.
Yea..suddenly I see the happiness at this very moment….

Lirik
‘Suddenly I See’
.:KT Tunstall

Her face is a map of the world
Is a map of the world
You can see she’s a beautiful girl
She’s a beautiful girl
And everything around her is a silver pool of light
The people who surround her feel the benefit of it
It makes you calm
She holds you captivated in her palm

Suddenly I see
This is what I wanna be
Suddenly I see
Why the hell it means so much to me

I feel like walking the world
Like walking the world
You can hear she’s a beautiful girl
She’s a beautiful girl
She fills up every corner like she’s born in black and white
Makes you feel warmer when you’re trying to remember
What you heard
She likes to leave you hanging on her word

Suddenly I see
This is what I wanna be
Suddenly I see
Why the hell it means so much to me

And she’s taller than most
And she’s looking at me
I can see her eyes looking from a page in a magazine
Oh she makes me feel like I could be a tower
A big strong tower
She got the power to be
The power to give
The power to see

.october 22, 2009.

.greet me when we meet.


Belakangan ini lagi dengerin lagu Seandainya- Vierra. Gak mau ngaku kalau lirik lagu ini sebenarnya adalah manifestasi perasaan terpendam yang coba terus kuabaikan atau bahkan kuingkari, namun ternyata mungkin memang inilah yang dipilih telinga serta diresapi oleh hatiku.

Gw sedang berfikir bahwa ‘gw gak boleh terus-terusan begini. I MUST see the world’ . Sejak jaman SD sampai saat ini, banyak banget yang gak berani gw lakukan. Gw selalu merasa ‘harus’ jadi anak yang baik karena itu ‘harus’ dilakukan, padahal ingin rasanya menjadi bandel, trouble maker dan melihat dunia dengan kaca mata yang berbeda yang selama ini gw pakai. Tapi sudah hampir 25 tahun, namun gw masih saja memakai kaca mata tua minus 3 ini. ‘Gagal’ melihat ‘kesenangan’ dunia yang bisa dinikmati. Seandainya saja gw bisa ‘let myself free’.

Kemarin ada seorang teman yang tiba-tiba muncul; teman di SD (itu tuh, yang reuninya selalu gw hindari, secara gw takut kumpul dan sebenarnya juga karena gw punya mantan pacar yang adalah teman SD gw dan yang ternyata sekarang jadian sama teman SD lainnya :p).

Dalam banyak hal, gw salut betapa dia bisa menikmati hidup dengan cara ‘gokil’nya. Gw selalu kagum terhadap orang-orang seperti dia yang rasanya punya prinsip ‘Hidup untuk hari ini dan melakukan yang terbaik bahkan segila-gilanya. Seolah-olah besok udah gak ada waktu lagi untuk berbuat nekat :p’. Rasanya gw perlu berteman dengan orang-orang seperti ini, supaya gw bisa diajak ‘gokil’ bareng dan mendobrak batas dan kebiasaan gw.

Dalam kacamata gw (bahkan sampai saat ini!), orang-orang seperti ini sangat ‘tak tersentuh’. Gw merasa gak cukup asik untuk gabung dengan mereka, gak cukup keren untuk jalan bareng, gak cukup cerdas untuk didengar. Mereka sangat populer! Punya wajah di atas rata-rata, punya obrolan yang ‘gak gw ngerti’ dan gw minder. I let my world mine and I let them theirs.

Entah karena ketidakcocokan atau memang karena merasa bahwa ‘i dont belong with this people’. Ada semacam garis semu namun kentara terasa bahwa kesenjanganan antara gw dengan teman-teman ini membuat gw serta merta menarik diri bahkan sebelum mengenalkan diri.

Gw pikir mereka yang membuat garis ini, agar perkumpulan mereka ‘tidak dimasuki’ orang seperti gw. Tapi belakangan gw disadarkan bahwa jangan-jangan garis batas itu gw buat sendiri sehingga membuat banyak orang ‘menarik diri’ untuk mengenal gw lebih dekat. Kadanga gw merasa ‘autis’ (nauzubillah, semoga gak). Sebab gw sering merasa terlalu fokus dalam dunia yang gw buat sendiri dan menjadi terisolasi dari manusia lain serta masuk dalam dunia repetitif dengan aktivitas dan minat yang obsesif (gw nemu penjelasan ini di wikipedia!).

Teman gw ini dengan beraninya bilang betapa bodohnya gw karena gak bersyukur akan hidup gw dan nyuruh-nyuruh gw keluar dan BERSOSIALISASI. Thanks for that, dude…

Dan tahu apa yang teman ini katakan di akhir pembicaraan -singkat namun penuh makna- melalui dunia maya itu?

‘Greet me when we meet’

Simple endings, but it proves how my prior ‘prejudice’ about him is WRONG.

This words encourages me to step out from my own shell…

SEANDAINYA
by: Vierra

Kelak kau kan menjalani hidupmu sendiri
Melupai kenangan yang telah kita lalui
Yang tersisa hanya aku sendiri disini
Kau akan terbang jauh menembus awan
Memulai kisah baru tanpa diriku

Reff :
Seandainya kau tau ku tak ingin kau pergi
Meninggalkan ku sendiri bersama bayangan ku
Seandainya kau tau aku kan selalu cinta
Jangan kau lupakan kenangan kita selama ini

Kelak kau kan menjalani hidupmu sendiri
Melupai kenangan yang telah kita lalui
Kau akan terbang jauh menembus awan
Memulai kisah baru tanpa diriku

Untuk download, klik di sini.

.what took you so long?


Demikian komentar seorang teman setelah aku mempublikasikan fotoku pertama kali kembali ke sekolah setelah enam tahun berlalu. Foto itu berlatar belakang papan nama sekolahku dulu saat aku masih menjalani hari-hari di SMA.

Ada banyak alasan mengapa aku tidak pernah kembali setelah sekian tahun. Bukan karena sekolahnya angker, bukan karena universitasku jauh di Purwokerto sana, bukan karena kisah-kisah cinta SMA tak berbalas, bukan pula karena berantem sama teman hanya karena cowok *kayaknya jaman itu gak jauh-jauh dari yang namanya masalah cinta dan cowok :D hehe

Bukan…bukan itu semua..

Tapi karena ‘sindrom aneh’ku. Aku takut sekali kembali ke sekolah. Aku takut bertemu orang-orang yang dulu pernah ada dalam hidupku. Pergi ke sebuah tempat yang sudah pernah aku kunjungi dan penuh dengan memori masa lalu membuatku takut dan tidak nyaman. Tidak bisa kujelaskan mengapa dan walalupun banyak orang ‘protes’ dengan sikapku itu, masih juga sulit kugerakkan kakiku melangkah menjauhi sindrom aneh ini.

Sebenarnya aku punya analisa tersendiri tentang sindrom anehku ini. Tentu ada manifestasi hal yang membuatku enggan menyentuh kembali kisah masa laluku. Beban psikologis serta rasa tidak nyaman yang menjadi-jadi dan beragam rasa takut yang muncul hanya karena hadirnya kembali lakon-lakon masa lalu dalam hidupku. Tapi, tak perlulah kujelaskan di-notes ini.

Minggu itu, 11 Oktober 2009, aku kembali ke sekolah karena diminta untuk menjadi juri dalam lomba debat yang diadakan oleh KIR SMAN1TRA. Entah bagaimana namaku muncul di daftar. Tapi memang beberapa kali seorang teman terus menerus menanyakan kesediaanku untuk membantu di LKIR. Tidak selang begitu lama, seorang panitia mengirimkan pesan dan meminta bantuanku.

Tahu apa yang ada di pikiranku saat mendapatkan tawaran tersebut?

Aku berfikir bagaimana caranya mencari alasan untuk tidak hadir dan menolak tawaran itu. Aku mencari-cari alasan untuk ‘lari’ lagi dari ajakan-ajakan untuk berkumpul dan menemui orang-orang yang dulu pernah jadi bagian terdekat dalam kisah hidupku. Aku ingin meng’iya’kannya, namun aku khawatir nanti harinya tiba, moodku berubah dan aku malah enggan untuk hadir. Tidak bisa kubayangkan bagaimana akibatnya. Berjanji untuk datang, namun karena perubahan mood-ku, kemudian aku memutuskan untuk tidak hadir.

‘Berlari’ itu bukan hal baru untukku, seringkali aku tidak peduli dampak sikapku itu hanya agar aku dapat ‘menyelamatkan’ diriku.

Menyelamatkan diri dari apa?
Yaaa dari kalian. Manusia-manusia biasa yang sebenarnya tidak menggigit, namun dengan bodohnya aku takuti.

Karena tidak bisa membuat alasan lain lagi (atau karena memang aku coba menantang diriku sendiri untuk tidak lagi memanjakan ego serta membiarkan diri ini lebih berani menjalani hidup), aku bersedia untuk hadir pada hari dan tanggal yang telah ditetapkan.

Dua kali mereka mengundangku hadir dalam Technical Meeting, dan dua kali pula aku menolak karena alasan kesibukan. Iya, aku punya kesibukan, tapi seandainya aku MAU hadir, sebenarnya aku bisa saja memprioritaskan acara di SMA. Namun, aku bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya sekali saja hadir kembali di sekolah, apalagi kembali berkali-kali ke sekolah. “Aku tidak akan hadir ke sekolah kecuali tanggal 11 Oktober 2009!”, umpatku. Aku butuh waktu mempersiapkan diri untuk kembali hadir di sana, mungkin 11 Oktober adalah saatnya.

Dua hari sebelum acara tersebut, keringat dinginku mengucur membayangkan harus hadir di Minggu pagi. Status-status facebook-ku tidak jauh dari kata-kata:

“mulai keluar lagi sindrom anehku :(“ (October 9 at 10:52pm)

”tuhanku, jauhkan sindrom anehku terutama untuk esok pagi. Be brave, nis. Face the people. They wont bite!!!’ (Sat at 9:54pm )

“please dont run again, nis….” (Sat at 10:07pm)

Seolah-olah hari itu akan menjadi hari terberat dalam hidupku, malamnya pun aku gak bisa tidur nyenyak dan dihantui ketakutan-ketakutan tak beralasan lainnya.

Alhamdulillah, dengan semangat yang lebih bak, aku berangkat ke sekolah itu.

Di akhir acara, rasanya aku tidak ingin pulang. Senang rasanya bertemu teman-teman lama, adik kelas yang begitu bersemangat mengadakan lomba, dan menemui sisi-sisi ruang yang penuh cerita. Rasanya belum lama aku pernah ada di sini dan menjadi bagian nyata dari sekolah ini. Aku merasa sangat bersyukur karena telah mampu mengalahkan diriku sendiri kali ini. Mengalahkan ketakutan itu.

Aku menang! Sindrom ini kali ini kalah, semoga aku selalu punya kekuatan untuk tidak terus menerus berlari dalam ketakutan yang tak logis dan tak terjelaskan ini.

Reuni masih menjadi ketakutan terbesarku… Lihat saja bagaimana hasilnya nanti… Apakah aku akan terus berlari atau memberanikan diri hadir.

Sekarang kalian tahu pengakuanku….

Bila aku kembali berkata ‘tidak’ atau memberi beribu alasan untuk tidak hadir, kalian sudah tahu bahwa aku sedang ‘berlari’.

.tell me the truth!


Seorang teman tiba-tiba saja bertanya melalui sebuah alat chat di sebuah situs pertemanan sosial.

‘Apa komentarmu tentang aku?’

Sebuah pertanyaan yang aneh sekali setelah sekian lama tidak pernah berhubungan secara personal. Tentulah aku bertanya mengapa dia tiba-tiba meminta pendapat seperti itu. Selain itu, untuk keperluan apa komentar tersebut kutulis. Setelah mencari tahu, akhirnya aku sampaikan opiniku selama mengenal dirinya.

Dan betapa terkejutnya dia karena dia merasa aku sangat mengenalnya sehingga mampu memberikan deskripsi yang cukup lengkap.

Dia bilang ‘See, Aku memang telah bertanya ke orang yang tepat…’

Sempat ada tanya dan ragu yang muncul di benakku. Haruskah aku mengatakan yang sejujurnya, atau haruskah aku mengeluarkan kata-kata yang hanya sekedar basa-basi sehingga mampu menyenangkan serta mengangkat harga dirinya semata?

Kuputuskan mengatakan apa adanya; yang baik dan yang buruk.

Kita mungkin sering kali ingin mendengar apa yang orang lain pikirkan tentang diri kita, namun kadang kita sering kali tutup telinga setelah mengetahui kebenarannya, bertanya-tanya dalam hati ‘Apakah kita memang seperti itu?’ Meragukan apa yang diucapkan dan seringkali menganggap itu sebagai sebuah serangan terhadap diri kita. Tidak mampu menerima apa yang disampaikan, padahal itu dikatakan atas permintaan pribadi. Saat seseorang bertanya tentang bagaimana dirinya, itu merupakan sebuah tanda kekurangpercayaan diri dan adanya kebutuhan yang sangat besar akan pengakuan eksistensi diri di hadapan orang lain.

We may say ‘I dont care what people think about me’, in contrary it reflects how we actually DO care about what people think about us.

Kita sebenarnya selalu tahu seperti apa karakter kita dan apa yang kita butuhkan dalam hidup untuk dapat merasa lebih baik di dunia yang semakin tidak ramah ini, hanya saja sering kali kita mengingkari diri karena kita tidak ingin menilai diri sendiri buruk dan tercela.

Aku selalu senang memperhatikan orang lain, bagaimana sikap mereka, bagaimana respon mereka menghadapi sesuatu, dunia ini adalah laboratorium pribadiku. Tempat aku memperhatikan beragam sikap manusia. Semoga aku juga mampu menjadi diri yang lebih baik lagi dan bahkan tidak mengingkari sedikitpun kejelekan yang laten dalam diriku.

:to be continued -it’s time to go home :) happy weekend, fellas….

.aku takut jatuh cinta


Ini adalah cerita tentang apa yang ada di pikiranku. Pikiran seorang perempuan usia 24 tahun, lajang, bekerja sebagai calon PNS dan belum memiliki pasangan. Gak bisa digeneralisir juga sih kalau pemikiran ini dimiliki oleh perempuan-perempuan lain. Tapi gak ada salahnya juga mencoba untuk menyampaikan hal ini melalui notes. Bukan mengharapkan sebuah komentar ataupun sebuah ‘judgement’. Tapi sebuah usaha untuk lebih membuka diri dan akhirnya pengaharapan menjadi diri yang lebih baik lagi ke depannya.

Aku merasa takut sekali jatuh cinta. Takut menyayangi seseorang dan ternyata tidak berbalas. Bukan berarti aku tidak pernah menyukai seseorang. Sering sekali aku menyukai mereka. Bahkan dapat kukatakan aku adalah seseorang yang mudah sekali menyukai seseorang. Mudah sekali terjebak dalam sebuah perasaan yang terlalu ingin memiliki dan dimiliki.

Sampai saat ini, tidak sedikitpun terbesit wajah seseorang yang mungkin akan mendampingi hidupku. Aku menggeleng karena tidak sedikit pun dapat menggambarkan seperti apa wajahnya kelak. Pernah kah kamu berjalan dan di dalam pikiranmu, kamu selalu bertanya-tanya “Apakah Dia adalah untukku ya, Tuhan?” setiap kali bertemu seorang laki-laki yang dikenal atau bahkan wajah-wajah asing yang jalan melintas di hadapanmu -dalam perjalanan pulang kantor, menuju kampus, di atas bus, di atas motor, di dalam sebuah mall atau bahkan seseorang yang hanya lewat saja di depan rumahmu?

Aku melakukannya. Entah menyadarinya atau tidak, namun pertanyaan yang sama terus saja menggema di dalam ruang pikirku. Sampai-sampai aku berpikir kalau pemikiran dan pertanyaan seperti itu malah akan menjauhkanku dari jodohku yang sebenarnya. Saking aku terlalu penasaran, saking aku terlalu ingin tahu siapakah gerangan orang tersebut.

Setiap kali ada seorang laki-laki yang bersikap manis, baik, dan perhatian selalu saja ada rasa ‘begitu dihargai’ dan dengan mudahnya aku menyukainya. Belakangan baru aku ketahui bahwa sikap itu hanyalah sikap ‘basa-basi’ laki-laki yang memang senang sekali bersikap manis kepada semua perempuan dan tanpa mereka sadari seringkali ‘menjebak’ perempuan. Atau mungkin maksudku, menjebak perempuan dalam pikirannya sendiri bahwa mereka (baca: laki-laki) menyukai dirinya.

Mudah sekali akal dan perasaan ini dipermainkan. Aku bukan menyalahkan laki-laki, namun menyalahkan diri ini yang demikian rapuh mendamba seseorang yang sungguh menyayangiku, sampai-sampai sedikit saja perhatian dari wujud tersebut mampu membawa angan yang begitu jauh dan indah. Fool me!

Riwayat jatuh cintaku boleh dikatakan buruk. Semua tidak berbalas.

Apakah aku menyukai orang yang salah?
Atau memang ada yang salah dengan diriku sampai perasaan itu tidak berbalas?

Kadang aku benci menjadi seorang perempuan dengan budaya dan pemikiran kolot dalam dunia yang sangat konservatif seperti ini; yang menganggap bahwa perempuan tidak seharusnya menyatakan perasaan duluan, yang merasa lebih mudah membalas menyukai bila sang laki-laki terlebih dahulu menyukainya, yang merasa tidak punya tangan dan kaki serta keberanian untuk menunjukkan perasaan sayang kepada mereka karena ketakutan dianggap sebagai perempuan ‘genit atau kegatelan’ (atau apalah label yang diberikan oleh ‘masyarakat’).

Namun aku terkungkung di dalamnya dan aku sangat takut sekali mencoba (bahkan mencoba!) untuk menunjukkan perasaan lebih yang kumiliki kepada seseorang yang kusayangi. Apakah hal tersebut tidak layak??? Tidak layakkah mencari celah hati di dalam diri laki-laki yang dapat kumasuki untuk kudiami di dalamnya?

Bukan berarti aku tidak pernah mencoba menyatakannya. Aku pernah mencobanya. Dan rasanya sangat terbuang saat mengetahui bahwa perasaan itu hanya ada di pihakku.

Saat ini aku menjadi jengah dan rasa takut itu begitu menjadi-jadi sehingga aku menjadi takut berharap.

Aku takut berharap, bahkan aku takut membayangkannya; Mengkhayalkan si A yang begitu cerdas, si B yang begitu menarik, si C yang begitu dewasa atau si D yang begitu unik dan mengharap salah satu dari mereka menyukaiku.

Rasanya aku belajar bahwa apa yang benar-benar kuinginkan seringkali tidak menjadi nyata. Aku bermimpi tinggi dan dengan mudahnya aku terjatuh oleh realita. Sakit! Sehingga aku berfikir bahwa cara terbaik untuk dapat bertahan dalam hidup ini adalah dengan tidak menginginkan apapun. Membunuh ekspektasi yang terlalu tinggi dan menjaga diri dari menginginkan sesuatu yang mungkin terlalu berlebihan untuk diri ini.

Walau mencoba untuk tidak banyak berharap, namun ada sedikiit saja harapan. Aku ingin mendapatkan kesempatan ya, Allah. Kesempatan untuk mendapatkan diri ini kesempatan untuk lebih dikenal dengan baik oleh seseorang. Biarkan orang tersebut masuk ke kehidupanku. Mengenal diriku. AKu tahu aku cukup baik untuk seorang laki-laki, walau entah kapan laki-laki tersebut sampai pada kesadaran demikian.

Please just give me one shot to be loved…

 

.october 6. 2009.

.shortcuts in life.


“There are no shortcuts in life or love. The pains must be felt. It’s what makes us special, what makes us beautiful, what makes us worthy; the pain of how we love. But the pain is accompanied by something else, HOPE. With the pain, there is hope. And that’s where you are. Somewhere between agony and optimism and prayer. So, you are human…”

Itu sepenggal kalimat yang disampaikan oleh marriage counselor-nya Sarah Walker dalam salah satu episode Brothers and Sisters, ‘Love is Difficult’. Belakangan ini sedang menikmati film seri itu dan semakin larut dalam setiap kisah yang terjalin di dalamnya.

Bosan mendengar kata-kata seperti itu karena sesungguhnya aku tahu bahwa semua yang sudah berakhir akan terganti lagi dengan sesuatu yang baru. Bosan menunggu. Well, mungkin seharusnya aku bergerak dan tidak hanya diam dan menunggu.

.i wish i’ve never been here.


Begitulah kata seorang temanku yang sekarang sedang berkuliah di negeri seberang. Takdir membawanya ke sana. Pilihan telah diambil; melepas pekerjaan di Jakarta, meninggalkan keluarga dan teman-teman tercinta juga hingar bingar ibukota.

Yang tidak pernah habis kupikir,the option seems too good to be true in the first place. Indah sekali! Dapat beasiswa, dapat uang kuliah, uang buku dan uang saku, tidak lupa dua titel menambah panjang deretan nama. Dulu, itu tampak seperti pilihan terbaik, hal terindah dan yang paling didambakan. Kami semua berlomba, berkejaran untuk mencapainya. Walau akhirnya takdir membawa jalan masing-masing ke arah yang memang telah ditunjukNya.

Pernahkah kamu begitu menginginkan sesuatu dan saat apa yang diinginkan telah diberikan, kamu tetap merasa hampa? Tetap merasa tidak puas?

Saat aku dihadapkan pada pilihan demi pilihan, aku menjadi gamang. Seringkali tidak yakin dan merasa pilihan yang tidak aku ambil tampaknya lebih baik dibandingan konsekwensi melekat atas pilihan yang telah kuambil.

Bila aku menjadi frustasi dan terpuruk dengan perasaan bersalah karena telah memilih pilihan yang ‘salah’, bisa-bisa aku menjadi gila. Namun yang kulakukan adalah mengumpulkan poin-poin ekstra dari pilihan yang telah kubuat. Mencari justifikasi bahwa pilihan ini memang yang terbaik. Namun hikmah seringkali sulit didapat. Atau aku mungkin terlalu buta untuk melihat pelajaranNYA? Melihat makna dari takdirNYA?

Tidak.. Aku tidak menyesali harus tinggal di sini. Banyak sekali rezeki dan hikmah dengan tetap tinggal dan bertahan. Hanya saja, aku menjadi bingung mengapa beberapa temanku yang tampak sangat bersemangat untuk sekolah di sana, namun ternyata ‘menceritakan’ hal yang jauh dari bayanganku. Kupikir mereka beruntung. Beruntung bisa ada di sana. Begitu juga dengan diriku, beruntung berada di sana. Rezeki dan keberuntungan kami memang di dua tempat yang berbeda. Win-win solution kan?

Aku memang tidak tahu secara lengkap mengenai kisah di sana, namun bila memang ada beberapa hal yang harus dilewatkan demi menjadi lebih baik, bila memang ada banyak hal yang harus dikorbankan demi masa depan yang lebih baik, tolong tutup mulut kami dari mengeluarkan keluhan-keluhan atas kondisi yang ada ya, Tuhan…

Jadikan diri ini ikhlas atas pilihan yang telah kubuat. Jangan lagi ada kata-kata ‘seandainya’ atau bahkan keinginan mengulang waktu agar dapat memilih pilihan berbeda yang telah diambil di saat ini.

Bila titik cerah belum juga terlihat, setidaknya jangan hilangkan harapan untuk melihat itu ya, Tuhan…

.aku dalam cerita.


Aku suka baca novel. Walau belakangan, buku-buku yang kubeli tampak terabaikan di rak buku karena ternyata gambar bergerak, stimulus pendengaran dan mengistirahatkan mata jauh lebih menarik dibandingkan dengan membaca baris demi baris tulisan di kertas.

Terkait dengan kegemaran membaca, aku selalu saja larut dalam tiap alur yang dibawa penulis. Aku bisa tiba-tiba menjadi sangat murung, berbahagia dan tersenyum sendiri atau menangis tersedu mengikuti sang tokoh. Mudah sekali mood-ku berubah hanya karena membaca sebuah buku. Aku bukan pengkhayal hebat. Larik demi larik tulisan pun tidak sepenuhnya muncul nyata dalam imajiku, kadang hanya berderet-deret kata yang terbaca cepat.

Terkadang aku khawatir dengan emosi yang begitu mudahnya naik dan turun. Aku bisa sangat merasa tersakiti, dikhianati bahkan kecewa. Semua perasaan yang tertulis tampak nyata di dada. Perihnya terasa, sakitnya membuat hati mencelos. Seperti membayangkan diri ini adalah lakon utama. Ini terjadi karena sadar atau tidak, aku mengasosiasikan kisah sedih, ditinggalkan dan rasa sepiku dengan kisah fiksi di novel.

Saat sang tokoh kecewa dan sedih, aku membayangkan diriku yang ditinggalkan. Aku tahu benar bagaimana perihnya dan hanya dengan memunculkan sedikit ‘perasaan terbuang’ itu, aku mampu menjadi tersakiti lagi.
Selalu saja aku membandingkan diriku dengan sang tokoh. Melihat siapa yang paling beruntung, siapa yang paling tersakiti; diriku atau tokoh di novel itu.
Sayangnya cerita di novel sering terlalu bombastis. Perempuan cantik, kurus, sukses, pekerja keras dan banyak dikejar pria. Atau pria tampan, cerdas, sukses, kaya dan selalu dapat apa yang diinginkan. Dunia novel tidak seperti duniaku. Mungkin karena saking tidak menariknya kehidupan perempuan berwajah pas-pasan dan otak standar sepertiku, makanya jarang sekali tipe ini dimunculkan di dalam novel.
Aku iri!
Iri akan akhir bahagia di tiap novel yang kubaca. Sering sekali menganggap diri ini tidak layak berbahagia seperti mereka yang ada di dalam cerita.

Mungkin itulah yang membuatku begitu tenggelam dalam cerita novel yang kubaca. Mereka seperti menunjukkan dunia yang tidak bisa kusentuh. Dunia yang bukan milikku.

Kemudian, bagaimana dengan akhir kisah hidupku?

.sensasi syukur.


Di tengah perjalanan pulang, mengendarai motor dari Kuningan menuju Tanah Abang, tiba-tiba terbersit satu pemikiran di sepanjang perjalanan 7 KM itu.

Pemikiran tentang pergeseran makna syukur dan nikmat.

Kembali ke beberapa tahun lalu di masa kuliah, saat uang menjadi hal yang hanya bisa dipinta ke orang tua. Saat harus bertahan di daerah orang dengan uang seadanya. Saat keterbatasan dan kesederhanaan menjadi makanan sehari-hari.

Makan ayam saja terasa nikmat. Hanya 5000 rupiah sudah cukup. Sudah lengkap dengan nasi dan sambalnya. Termasuk mewah sebenarnya bila dibandingkan dengan beberapa teman lain, mereka bisa lebih irit karena tidak selalu harus makan ayam atau daging.

Berbeda dengan lidahku yang sudah terlalu sering dimanjakan dengan makan daging atau ayam, sehingga menolak berbagai jenis sayuran.

Jadi, dapat dipastikan bahwa tiap kali sarapan, makan siang atau makan malam, pilihan menuku terbatas pada ayam panggang, ayam goreng, ayam kremes, soto ayam, gepuk, atau daging balado.
Menu yang mudah sekali ditebak=)

Harga 5000 per porsi adalah jumlah yang relatif kecil bila kubandingkan nilainya saat ini.
Tapi waktu itu, 15000 rupiah sudah merupakan batas maksimal pengeluaran tiap harinya.

Walau terbatas dana yang bisa kukeluarkan, tapi rasanya nikmat sekali tiap kali bisa makan. Bahkan dulu masih juga berusaha irit dengan mencari tempat penjual ayam yang harganya di bawah 5000=)

Kalau ada teman yang ulang tahun, senior yang sudah bekerja datang ke Purwokerto, atau mama papa nengok, aku dapat jatah traktir. Makan gratis!

Dan rasanya?

Senang bukan kepalang. Rasanya ucapan syukur tak henti-hentinya diucapkan. Syukur yang tidak hanya sekedar diucapkan di mulut.

Sekarang, saat sudah bisa mencari uang sendiri, rasa syukur yang dulu pernah begitu besar kurasakan, tiba-tiba hilang.

Makan hidangan selezat apapun atau semahal apapun, tapi tetap saja tidak dapat kualami lagi nikmatnya makan di saat kuliah dulu.

Lalu aku menyimpulkan, mungkin semakin sulit hidup dan mencari uang, maka rasa nikmat dan syukur itu akan menyeruak dengan mudah memenuhi rongga jiwa saat kebutuhan akhirnya terpenuhi.
Hingga akhirnya aku menjadi tidak habis pikir, kebaikan apa yang telah kulakukan hingga dapat merasakan nikmat sebesar itu.

Arti makan sesederhana untuk membuat perut kenyang, pikiran tenang dan hati riang.
Bukan makan agar prestise melonjok sehingga semahal apapun harganya pasti dibayar, padahal tidak sesuai selera.

Sekarang, mungkin aku menjadi tidak lagi pandai bersyukur, Ya Allah.

Mudah sekali kau berikan rezekiMu padaku, hingga mampulah aku mencoba banyak hal yang sebelumnya tidak mampu kubayar sendiri.
Dulu begitu kuhargai nilai seribu rupiah, namun sekarang tampak tak berarti.

Satu hal yang terus coba kulakukan untuk mendapatkan sensasi syukur dan nikmat yang dulu pernah kurasakan, yaitu dengan berbagi rezeki kepada orang lain.
Semoga berbagi rezeki ke orang lain rasanya akan semudah membuang uang untuk makan atau membeli barang yang kuinginkan

Sehingga biarlah kurasakan nikmat dan syukur yang orang lain rasakan setelah mereka menerima sedikit yang aku punya.

 

.september 2, 2009.