.rumbling mind.
Aku merasa seperti tidak berpijak di dunia nyata sejak membaca beberapa fanfic (baca: fans fictions) tentang Grey’s Anatomy (tampaknya memang aku sudah mengalami OCD!). Dan sejujurnya imajinasi adalah sebuah dunia yang sangat asing buatku. Jangan tanya alasannya apa karena aku juga tidak bisa menjelaskan mengapa. Imajinasi itu layaknya sebuah barang mewah. Mahal sekali otakku ini untuk sampai ke tahapan itu.
Silahkan tersenyum satir penuh kepuasan bila kamu merasa bahwa imajinasi merupakan sebuah barang gratis yang bisa didapatkan dan dilakukan dengan mudah kapanpun atau dimanapun. Silakan tertawa terbahak-bahak bila memang imajinasi adalah makananmu sehari-hari yang bahkan hadir tanpa perlu membuatmu frustasi. Tertawalah lebih keras, biarkan ruang tempatmu duduk saat ini menjadi hingar bingar. Silakan tertawa hingga nafasmu tersengal!
Kuharap dengan mengakuinya kepada dunia, mungkin rasa iri di dadaku bisa berkurang, mungkin Tuhan bisa memaafkan noda hitam pengingat ketidakmampuanku berimajinasi dan mengampuni cercaanku akan nikmat yang sulit bisa kurasakan itu; nikmat berimajinasi.
Dalam hidupku, bermimpi merupakan sebuah hal yang tabu. Aku belajar bahwa bermimpi hanya akan menjauhkanku dari semua hal yang aku harapkan. Aku belajar bahwa sebaik-baiknya impian adalah yang bisa ku simpan dan tutup-tutupi dari Tuhan ataupun dari orang di sekelililingku. Bah, biarlah otakku ini menganggap bahwa Tuhan bisa ditipu dengan semua kepalsuan dak kepura-puraan. Memang dasar otak tak punya imajinasi! Bahkan otak ini sudah mulai berevolusi menjadi sangat bodoh. Bodoh sekali berfikir bahwa Tuhan tidak akan tahu apapun yang disembunyikan di dalam hippocampus-ku ini.
Mimpi -sebagai sebuah hasil dari imajinasi- adalah sebuah tawaran berbeda yang bisa diberikan dalam sebuah upaya tawar menawar dengan kehendak Tuhan. Terlebih bila mimpi itu diiringi dengan doa serta tindakan-tindakan yang positif. Man Jadda Wajadda. Demikianlah janji Tuhan. Ini bisa jadi sebuah cara untuk meningkatkan bergaining position di mata Tuhan.
Namun aku belajar bahwa saat duduk di sebuah meja perundingan dan dalam upaya negosisasi kesepakatan antara diriku dengan Tuhan, diri ini sama sekali tidak memiliki ‘tawaran’ yang mampu diberikan kepada Tuhan. Dia pemilik semuanya dan parjanjian ini pun ada atas syarat dan ketentuan yang Dia berikan. Lalu untuk apa aku bermimpi bila semuanya pun sudah dirancang olehNya?
Sejak membaca semua karya fiksi tersebut, aku merasakan sebuah sensasi yang sulit sekali dijelaskan. Otak dan imajinasiku seperti didobrak untuk bekerja lebih keras dan semakin lama membacanya membuatku mendoktrin diri sendiri bahwa tidak apa-apa untuk berimajinasi. Bahwa tidak berdosa untuk berimajinasi. Bahwa imajinasi adalah miliki semua orang dan bahwa imajinasi adalah sebuah hak asasi seperti juga kehidupan.
Bila dibandingkan, di dalam otak orang yang gemar sekali berimajinasi akan mudah sekali muncul ratusan alternatif cerita untuk sebuah kisah yang di dalam otakku hanya mampu dipersepsikan ke dalam satu bentuk saja; kenyataan. Ya, bagi otakku ini, kenyataan adalah satu-satunya jalinan cerita yang ada.
Aku tidak tahu siapa yang harus disalahkan untuk kondisi otakku yang sangat monoton ini. Sulit sekali berandai-andai, bermain dengan kata-kata ‘Jika’ dan membayangkan alur cerita lain yang berbeda dengan kenyataan.
Kenyataan yang terjadi dalam hidup ini adalah hak cipta Tuhan dan bila aku memikirkan cara lain yang berbeda dengan apa yang Tuhan tetapkan atasku, itu tampak seperti aku ingin bermain-main dengan Tuhan. Dan aku tidak ingin bermain dengan Tuhan.
Namun aku menyadari walau kenyataan adalah kartu mati milik Tuhan yang sudah tidak dapat diganggu gugat, namun imajinasi adalah kartu-kartu lain yang aku ciptakan bukan untuk menandingi kehebatan Tuhan.
Kenyataan sudah tidak bisa kuubah, namun khayalan adalah monopoliku sendiri. Aku adalah ‘tuhan’ untuk imajinasiku sendiri dan tidak ada yang dapat merenggut jalinan kisah dan akhir yang kurancang atas khayalanku itu. Bilapun Tuhan menetapkan jalinan cerita yang berbeda atas ke-MAHA-Kehendak-an-Nya, maka biarlah aku tetap tersenyum bahagia membayangkan hal-hal yang tidak terjadi –dalam dunia nyata, namun hidup subur dalam bayanganku. Mungkin naskah ‘happy ending’ atau ‘happily ever-after‘ versiku berbeda dengan versi Tuhan. Well, setidaknya aku berharap Tuhan sepakat denganku untuk satu hal itu.
Lama-lama aku berfikir bahwa kenyataan adalah sesuatu yang buruk karena tidak memberikanku ruang untuk berimajinasi. Kenyataan membunuh imajinasiku! Dan kenyataan membuatku takut berimajinasi. Tuhan…ini adalah bukti takutku padaMu. Akhirnya aku menemukan alasan kenapa imajinasi adalah sebuah hal asing bagiku. Namun seburuk apapun kenyataan itu, aku bisa tetap membodohi otakku dengan membaca banyak sekali cerita fiksi yang mampu menyuburkan imajinasiku yang dulu kisut dan semua itu membuatku merasa lebih baik…lebih bahagia…
*Repeatedly listen to I Dreamed A Dream and Total Eclipse Of The Heart from Glee: The Music Volume 3