.berlarilah, nisa!


It’s always hard to start doing something good. It’s like all the demons are sent to bend people to their will.

Gak layak juga sih kalau saya cuma menyalahkan setan karena membuat saya selalu patah arang untuk berbuat hal yang patut dan seharusnya dilakukan. Hanya saja, itu memang adalah sebuah alasan yang paling bisa dijual untuk berbagai macam kemalasan yang saya rasakan (terutama saat ini!). Dan saya yakin kalau saya tidak sendirian dalam hal ini.

Seringkali kita tahu apa yang SEHARUSNYA dilakukan, namun memilih DIAM karena terlalu terpaku untuk duduk tenang dan berada di zona aman dan nyaman ini. Pun bila hal tersebut baik untuk dilakukan, mampu membawa kesempatan untuk menjadi sukses dan manjadi manusia dengan kualitas lebih baik lagi.

Kalau ditanya, apa yang paling saya inginkan -selain menikah dan punya mobil- adalah keinginan untuk sekolah setingi-tingginya. Saya ingin mendapat beasiswa menuntut ilmu di negeri orang, menambah nilai diri saya sebagai manusia sosial dan sebagai makhluk tuhan. Saya ingin menjadi lebih bijak menghadapi hidup dengan mengayomi orang lain melalui berbagai pengalaman mereka dan sejarah yang tertulis dimanapun melalui pembelajaran dan proses belajar yang saya lakukan tersebut.

Saya sadar sepenuhnya bahwa titel itu sama sekali tidak berguna di akhirat, tidak berguna juga di dunia kalau tidak diiringi dengan nilai moral yang secara empiris mampu saya terapkan dalam kehidupan sehari-hari dan saya tahu bahwa belajar selalu bisa dilakukan tanpa terikat suatu institusi formal, namun saya tetap bertekad untuk bisa bersekolah keluar negeri. Suatu saat nanti insyaAllah akan terjadi bila memang tuhan berkata ‘Kun’. Amien…

Salah satu ‘kehebatan’ saya adalah kemampuan untuk bersikap dengan tepat dan menghadapi permasalahan dengan lebih baik dalam keadaan terpojok. Yups..dalam keadaan terpojok! Bukan satu-dua orang saja teman yang sudah mengenal saya dengan baik yang mampu menjabarkan kualitas tersebut, bahkan orang tua saya juga bisa membaca saya seperti buku. Segala macam sikap tergesa-gesa, tidak penuh pertimbangan, emosional, terkesan santai, tidak sabaran, gak rapih, dan bukan pekerja keras tercatat di dalam buku itu. Dan memang itulah saya.

Mereka tahu saya sangat mahir menunda pekerjaan dan sering terlihat malas-malasan mengerjakan sesuatu yang masih lama tenggat waktunya. Namun sering juga mereka mengejek saya dan mengatakan betapa sombongnya saya karena selalu menunda mengerjakan sesuatu yang bisa dikerjakan sejak awal. Mereka bilang begitu karena walau saya telat memulainya, saya tetap saja bisa mengumpulkan tugas saya tepat pada waktunya dan dapat hasil baik -sama seperti mereka yang sudah bersusah payah sejak awal. Ini juga berlaku untuk skripsi saya. Saya bersantai lebih dari satu semester, tidak kuliah, ‘sibuk’ jalan-jalan, ikut kegiatan debat, ikut kepanitiaan, magang dan akhirnya menyelesaikan tugas akhir itu dalam waktu 4 bulan. Bayangkan 6 bulan yang bisa saya hemat untuk mencari pekerjaan bila saya memang sungguh serius mengerjakan skripsi itu. Dan sungguh, itu bukan karena saya sombong, tapi karena memang saya malas. Saya adalah pemalas terbaik dan saya juga tidak bangga dengan titel itu. Tapi rasanya sulit untuk membuang kebiasaan buruk itu.

Lalu, apakah saya harus selalu merasa terpojok dulu untuk dapat bekerja dengan lebih maksimal? Sampai sekarang,jawabnya adalah IYA. Saya baru tergerak untuk bertindak saat keadaan mepet. Untuk apa mengerjakan tugas presentasi hari ini bila masih bisa saya kerjakan dua minggu lagi? Itulah moto saya :D

Satu hal yang lain yang saya pahami mengenai belajar dan bersekolah lagi adalah tentang komitmen untuk menyelesaikan apa yang telah dimulai dan menyegerakan lulus, namun saat ini langkah saya seperti surut. Saya sudah mendapatkan semua hak saya; uang saku, buku gratis, sekolah gratis dan saya malu karena belum bisa menunaikan kewajiban saya untuk segera lulus.

Saya seperti lupa alasan saya sekolah lagi, padahal saat ini adalah satu tahap akhir yang harus saya lewati. Satu tahap yang akan mampu membuat saya mempercayai diri saya sendiri untuk menerima kesempatan lain lagi. Tapi dengan sikap diam ini, saya menjadi tidak yakin akan kemampuan saya untuk mengejar cita-cita lain yang lebih tinggi. Banyak sekali kesempatan yang muncul di tempat saya bekerja saat ini dan sebagai hukuman atas sikap malas saya, saya tutup diri saya dari berbagai macam kesempatan untuk mengikuti beragam program beasiswa dan short course di luar negeri. Saya menahan diri saya untuk meraih lebih banyak lagi karena ketidakmampuan saya untuk berubah menjadi lebih giat. Iya, saya menghukum diri saya sendiri dengan mengabaikan semua kesempatan itu. Semakin saya abaikan, semakin membuat saya terluka, namun rupaya hal ini belum mampu memberikan efek jera karena terbukti saya belum juga menyelesaikan tugas akhir saya saat ini. Saya belum bergerak maju, saya masih tertahan di halaman yang sama!

Inilah pembelaan diri saya tentang sifat buruk itu. Saya selalu ingin mengerjakan sesuatu yang sudah dapat saya bayangkan dan prediksikan dalam otak saya. Saya ingin bertindak saat saya yakin apa yang akan saya lakukan. Misalnya, dalam membuat thesis ini saya nersikap santai karena (sebenarnya!) saya sedang membangun ‘master plan’ di dalam otak. Isinya adalah mengenai hal-hal apa saja yang perlu saya lakukan untuk sampai pada tujuan akhir saya. Saya melempar berbagai pertanyaan ke dalam otak sendiri dan mengantisipasi pertanyaan-pertanyaan yang akan muncul dan mungkin ditanyakan orang lain. Saya membuat skenario jawaban, taktik menulis dan cara merespon melalui sikap santai itu. Saat saya belum mampu membuat ‘master plan’ saya secara utuh, maka saya tidak akan mulai mengerjakan hal tersebut. Hal negatifnya, membangun sebuah ‘master plan’ utuh butuh waktu tidak sebentar! Ibaratnya bila saya punya waktu 24 jam, saya habiskan 22 jam untuk membuat master plan dan menghabiskan sisanya untuk merealisasikan rencana yang saya rancang secara matang.

Tampaknya saya harus menemukan formula baru untuk mengubah kebiasaan buruk itu karena bukan tidak mungkin saya tidak akan ‘selamat’ lagi bila harus mengerjakan sesuatu dengan terburu-buru.

Maka saya berkata kepada diri saya sendiri:

“Bergeraklah, nisa! Berlarilah! Maju dan kerjakan semua itu! Kamu mampu menyelesaikannya, kamu mampu meraih semua mimpi itu. Jika saja kamu mau berusaha menjadi bukan diri kamu yang saat ini. Bebaskan dirimu dari hukuman itu dan bersinarlah!”

nb. Dan ya, sebenarnya bukan setan yang membuat saya terlambat lulus dan meraih banyak hal kesempatan lain.

Leave a comment